Agaknya kok saya merasa miris kalau manusia dibedakan cuma berdasarkan miskin dan kaya. Lho piye, yaa.
Belakangan ini, media sosial kita sering banget geger gedhen soal perdebatan miskin dan kaya. Biasanya mula-mula diawali oleh orang "kaya" yang secara serampangan berpendapat soal kemiskinan, yang padahal mereka tidak betul-betul paham bagaimana hidup di bawah garis kemiskinan. Lantas disambut oleh kelompok "miskin" yang merasa terganggu atas statement semacam ini. Jadilah ramai jari-jari dua kelompok manusia ini saling war memenuhi timeline media sosial.
Sebetulnya perdebatan ini sudah lama sekali bergulir, dan sempat mereda untuk beberapa waktu. Sayangnya, ketentraman itu kembali terusik oleh cuitan Indra Kenz di Twitter, dengan entengnya ia menulis kalau terlahir miskin itu privilese.
"Sebenarnya lahir miskin itu juga privilege sih, bisa merasakan berjuang dan jadi sukses. Kalau lahir dari keluarga yang udah kaya, tekanan mental lebih besar," tulis Indra Kenz.
Sek sek, sebentar sini saya luruskan dulu pendapat sampeyan yang cacat logika serta perbandingan yang tidak apple to apple.
Mari kita menyamakan persepsi tentang apa itu privilese. Menyoal ini, saya ingin memberikan satu gambaran sederhana apa dan bagaimana privilese ini bekerja dalam kehidupan seseorang.
Pernahkah kamu berada di suatu posisi merasa lebih beruntung dari pada teman kamu? Atau sebaliknya, merasa tidak lebih beruntung dari pada teman kamu?
Misalnya saja, bagi yang sedang kuliah harus bekerja part time untuk menambah uang makan, sehingga kehilangan sebagian waktunya untuk mengembangkan bakat di lingkungan kampus. Di saat yang sama, teman kamu mungkin tidak disibukkan dengan biaya makan sebab sudah tercukupi oleh orang tua setiap bulannya. Sehingga bisa mengembangkan bakat di bermacam kegiatan selain kuliah.
Dari contoh di atas, privilese sangat tepat menggambarkan situasi tersebut. Bahwa, teman kamu memiliki privilese atas keuangan orang tua. Sementara kamu tidak memiliki itu.
Kalau kurang puas, saya beri lagi satu contoh yang lebih dekat dengan diri saya dan mungkin mewakili sebagian orang. Saat baru lulus SMA, saya melamar kerja di perusahaan bonafit, namun saya sudah tertolak sejak pengukuran tinggi badan karena kurang dua senti. Nah, itu contoh kecil bagaimana saya akhirnya harus tertolak sebelum berjuang di tes selanjutnya lantaran tidak memiliki tinggi badan yang "ideal" menurut perusahaan.