Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu malam(01/10/2022), telah memakan ratusan korban. Diketahui total korban akibat tragedi tersebut saat ini mencapai 705 orang, yang terdiri dari 131 korban meninggal dunia, dan 575 korban luka.
Salah satu penyebab banyaknya korban meninggal yaitu dikarenakan sesak napas dan terinjak saat berusaha keluar dari Stadion, yang diduga bahwa hal tersebut terjadi karena gas air mata yang ditembakkan oleh aparat.
Pada hari Kamis (6/10) minggu lalu, saat jumpa pers di Malang. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan bahwa total ada 11 tembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan. 11 tembakan tersebut diarahkan ke tribun selatan sebanyak 7 kali, ke tribun utara 1 kali dan ke lapangan sepak bola sebanyak 3 kali.
"Ini yang kemudian mengakibatkan para penonton terutama yang ada di tribun yang ditembakkan tersebut kemudian panik, merasa pedih dan kemudian berusaha meninggalkan arena," kata Sigit.
Kemudian pada hari Senin(10/10) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM) mendapatkan informasi bahwa gas air mata yang digunakan oleh aparat saat tragedi Kanjuruhan adalah gas air mata yang sudah kedaluwarsa.
Diketahui gas air mata tersebut dibuat pada tahun 2016, dan kedaluwarsa pada tahun 2019.
Polri mengakui bahwa saat itu aparat memang menggunakan gas air mata kedaluwarsa
Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo mengatakan "Ada beberapa yang ditemukan (gas air mata) tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tapi ada beberapa," dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Senin(10/10).
Dedi juga mengatakan bahwa senyawa yang terkandung dalam gas air mata berbeda dengan makanan. Jika makanan kedaluwarsa, maka akan menimbulkan jamur dan bakteri yang berbahaya jika dikonsumsi dan akan mengganggu kesehatan.
Tetapi lain halnya dengan gas air mata. Jika gas air mata kedaluwarsa, maka kadar kimianya justru semakin menurun.
"Kalau sudah expired justru kadarnya dia berkurang zat kimia, kemudian kemampuannya juga akan menurun," klaim Dedi.