Langkah kedua, memasukan unsur GO GREEN kedalam pasar rakyat. Kita tidak mungkin tidak menemui sampah tergeletak sembarangan di lantai pasar. Kalau bermaksud nyuruh orang jangan buang sampah sembarangan itu ibarat...ibarat...ibarat apa yah? Ibarat percumalah! Jangankan di pasar, saya pernah nulis di posting sebelumnya. Di busway wisata yang bagus, yg ACnya masih dingin, yg bertingkat, yang semua orang kebagian duduk, yang nyaman dan gratis kaya gitu aja masih ada yang buang sampah sembarangan. Jadi bukan salah sampah yang di buang, memang kesadaran masyarakat Indonesia yang masih minim terhadap komitment untuk menjaga kebersihan. Baiknya pasar-pasar rakyat ini perlu dibuatkan unit pengelolahan limbah sampah. Pedangan di berikan edukasi tentang manfaat pengelolaan limbah sampah, tentang bagaimana cara melakukannya. Sampah di pasar tentu, lebih di dominasi oleh sampah yang organik sisa barang dagangan seperti sayuran yang tidak laku di jual dan terlanjur busuk atau rusak secara fisik. Jadi, sampah tersebut bisa di buat pupuk untuk tanaman yang organik. Atau kalau sampah di pasar bervariasi, jumlahnya membludak, bingun siapa yang harus milihin. Hehe...saya baca dari beberapa media kini sudah banyak inovator yang membuat sumber daya listrik dari sampah. Seperti salah satu teknologi yang saya ingat adalah sapu jagad. Buat yang mau tahu, bisa cari referensinya di google.
Langkah ketiga, mungkin hal ini belum banyak di pikirkan orang. Bahwa semakin hari paradigma tentang kesehatan masyarakat kian berubah. Tidak sedikit masyarakat sadar betapa penting memilih bahan makanan yang kualitasnya baik untuk asupan tubuh dirinya. Pasar modern dan swalayan sudah memenuhi kebutuhan itu dalam hal menyediakan sayuran organik yang di jual, kebutuhan daging, baik ikan, ayam maupun sapi yang sudah terjamin bebas dari penyakit, formalin dan disuntik/dicampuri bahan kimia berbahaya bila di konsumsi manusia. Sedangkan pasar tradisional belum. Bahkan sebagian pedagang di pasar tradisional masih mencampur kualitas dagangannya yang jelek dan yang bagus. Tapi itu tidak mayoritas, karena kalau dia menjadikan pedagang adalah profesi tentu dia akan menjaga kepercayaan pelangan di lapaknya. Dan ini tantangan terberat bagi berbagai pihak, masalah ini tidak hanya bisa di carikan solusinya dari hilir saja tapi harus dari hulu ke hilir. Muaranya pastilah dari pemberdayaan pertanian dan petani yang harus di perhatikan. Serta memberikan penyuluhan terhadap pedagang ajar berkomitmen jadi pedagang jujur.
[caption id="attachment_382847" align="alignnone" width="475" caption="Semua pedagang di pasar TU, menjajarkan dagangannya dengan kapasitas yang segunung dan berkualitas baik."]
Langkah keempat, Menyediakan fasilitas penunjang yang memadai, seperti toilet umum. Supaya jangan ada yang buang air kecil sembarangan. Hal demikian soalnya masih terjadi di Pasar TU di daerah Bogor, atau orang menyebutnya dengan Pasar Kemang. Tempat ibu saya belanja, biasanya kami memasok kebutuhan sayur di kulkas untuk persediaan 2 minggu, jadi sebulan bisa 2 kali datang ke pasar TU untuk berbelanja.
Minus kekurangan fasilitas toilet tadi, pasar TU adalah pasar rakyat terbesar yang pernah saya lihat, soalnya pasar TU ini pusatnya pasar yang ada di seantero Kabupaten Bogor, bahkan pasar desa seperti pasar Bojong Gede belanja pasokan sayur dan sembakonya di pasar TU ini. Informasi tersebut pernah saya tanyakan langsung pada beberapa pedagang di Pasar Bojong Gede. Kebanyakan pedagang di pasar TU menjajarkan dagangannya tidak dengan lapak diatas meja melainkan di lantai semen yang hanya berlapis terpal. Jadi barang dagangan yang di jual kapasitasnya segunung-segunung. Mereka biasanya menjual bal-balan, dengan cara karung-karungan. Pembelinya kebanyakan para pedagang warung eceran atau pelaku pasar tapi tingkat desa.
Dulu, pertamakali berbelanja disini. Ibu saya langsung jiper ngajak pulang lagi. Wah ini mah yang belanja skala orang ngewarung. Begitu katanya, tapi berhubung sudah sampai. Kita akhirnya mencoba saja tanya-tanya dulu pada penjual dengan bahasa sunda yang belepotan dan sebisanya. Awalnya kita bertanya, begini..
"ieu saberaha, kang?"
Dijawab: bawang merah sakilo genep belas ribu. Hoyong saberaha kilo teh?
terus biasanya kita menawar dengan menurunkan nada suara sepelan mungkin.
"boleh ya, kang. meuli sautik wae"
Biasanya kalau sudah begitu. Begitu dalam arti kata, mencoba menggunakan bahasa daerah setempat meskipun bahasa sundanya kasar. Dengan ekspresi muka dan nada suara yang di pasang merendah sedikit. Pasti kita akan di kasih biarpun beli belanjaan cuma 1KG. Ini yang mungkin tidak bisa kita ketemui bila belanja sayur dan kebutuhan bangan di supermarket. Tidak sekedar tawar menawar, tapi nilai tenggang rasa masih kental antara pedagang dan penmbeli di pasar rakyat. Cara serupa juga bisa digunakan untuk kemudian tawan menawar harga ya...wkwkwk. Ini sekaligus tip, bahwa beginilah asiknya berbelanja di pasar rakyat. Namun perlu di perhatikan apabila kita berbelanja di suatu wilayah yang kental dengan nilai kedaerahnya sebaiknya menarik simpati dengan beramah tamah dengan penjual, kalau perlu gunakan bahasa daerah setempat.