Mohon tunggu...
Lubna Laila
Lubna Laila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi KPI UIN Saizu Purwokerto 2020

Demisioner Jurnalis LPM Saka, Kader PMII Rayon Dakwah komisariat Walisongo Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semerdekamu, Sen

27 November 2022   01:10 Diperbarui: 27 November 2022   01:15 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Yeah online.''

''Colek PJ @Simun wkwkwk ''
''Gass lahh.''
Lengang, tidak lagi ada yang mengetik. Selang beberapa saat...
Ngongg!
''Gak dibales sama dosennya.''
''Fiks online.''
''Kesepakatan online yuk, awas aja ya kalo ada yang berangkat aku doain Wudunen.''
'''Libur sih, lebih baik.''
''Iyaa, online. Soalnya ini kan diundur dari jam matkul biasanya, jadi kasian PJ nanti cari ruangan dulu ketar-ketir, yang biasanya tepat waktu aja suka rebutan sama kelas lain.''
Ya, begitulah, mahasiswa Kampus Biru memang terlalu membludak untuk jumlah gedung yang kurang dari kapasitas civitas akademika. Entah karena Kampus Biru yang terlalu sempit, atau karena birokrat terlalu maruk menerima maba. Positive thingking saja, barangkali memang birokrat kampus butuh dana dari UKT Mahasiswa untuk pembangunan insfrasruktur karena baru saja peralihan nama. Jadi perlu banyak masa.
Eh maksudku, perlu banyak sumber daya manusia yang dididik intelektualitasnya, jadi meskipun sudah melampaui kouta penerimaan maba, masih saja di terima. HEHE!

Maaf cuma bercanda. Enggak lucu ya? Bercanda seharusnya lucu ya bukan menyakitkan?
Mendengar kabar tersebut, dengan kondisi badan yang cukup lelah, Aku mulai mengantuk. Terninabobokan informasi, santai saja scrool animasi tekotok yang kawai dan sarkas. Sampai pada akhirnya terlelap.

Pukul 13.05 Aku dibangunkan oleh rekan kamar untuk sholat duhur, sembari menunggu nyawa terkumpul, Aku melirik ponsel, mengintip WhatsApp.

Jantungku hampir meloncat dari tempat semestinya, setelah membaca pesan di menit-menit akhir sebelum jam mata kuliah, ternyata Dosen tidak mengizinkan untuk online, dan kelas di gelar secara ofline. Aku benar-benar kehabisan kata-kata, tidak murka-tidak pula bergeming, mukaku datar.
Sedatar empati manusia-manusia yang tak pernah mengerti apa yang telah Aku lalui. Aku salah ya? Tapi Aku Denial atas perspektif menyalahkan ini.

 Mari kita bermain dengan waktu sejenak, mundur beberapa moment lalu. Masa di mana Dosen dengan semerdekanya masuk kelas tanpa terdeteksi waktu, jika hari ini ada agenda maka semerdekanya ia undurkan jadwal. Jika ada perkara insidental, maka mahasiswa dengan penuh etika seharusnya sepakat untuk adaptif dengan perkara itu, harus maklum, harus tunduk.

Iya, itu memanglah bukan budaya yang buruk. Dan sudah turun menurun, sebab jika mahasiswa melanggar dan menyatakan tidak sepakat dengan sekte tersebut ia akan terlabeli suuladab.

Lantas bagaimana jika hal keadaannya terbalik?
Seperti yang Aku alami hari ini, Aku me-loby salah satu oknum Dosen yang jelita. Dengan template loby-an yang sudah sesuai dengan etika dan estetika sebagaimana mestinya, Aku menawarkan tambahan tugas untuk mengganti presensi yang tidak aman.

Lalu bagaimana balasan beliau? Beliau mengetik dengan huruf kapital.
''TIDAK BERKENAN.''
Skakmat, game over, sudah tidak ada lagi pemakluman. Aku tersenyum joker. Mengscreenshoot chat tersebut, mengirimnya pada sahabat baikku: Alya.
''Al, kelak kalo kamu jadi Dosen. Jangan kaya gini ya, kasian mental mahasiswanya.'' tulisku di room chatnya.

Aku merenung, mencoba memaknai pesan moral dalam kejadian ini. Mencerna hikmah, melatih kelegowoan batin, namun tetap saja dalam hati terkecil ada teriakan pembenaran yang tak akan pernah sanggup Aku utarakan.

''Wahh, realitas ternyata tidak hanya brengsek. Ia juga hobi merangkai skenario prank kehidupan, tapi konten realitas tak menghiburku sama sekali.''
Puncak komedi, Aku tertawa tapi menitikan bulir bening. Tersenyum joker.
Ting!
Satu pesan baru masuk, lekas kubuka karena kukira itu balasan dari Alya. Ternyata bukan, pesan dari musuh bubuyutanku.
''Haha! ''
''Aku kembali. ''
''Panggil Aku genius si pemberani. ''
Aku sampai lupa terakhir chat apa dengan manusia paling langka satu ini, tapi demi tidak melihat wajah mengejeknya yang barangkali menggores relung gengsiku, Aku bertekad untuk tidak sudi menyerah.
 
''Sura, Aku gak bakal sudi kalah progress darimu.''

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun