Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, Pemerintah Kota Mojokerto telah menerapkan enam pilar transformasi pelayanan kesehatan yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Dimulai dari transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem kesehatan masyarakat, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi tenaga kesehatan, dan transformasi digital. Mengutip website Pemerintah Kota Mojokerto, Kota Mojokerto menerima apresiasi dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Maria Endang Sumiwi, MPH. (kominfo.jatimprov)
Kesehatan merupakan anugerah yang sangat berharga dan menjadi dambaan banyak orang. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin sakit. Setiap orang tentu ingin hidup sehat dan lebih baik. Itulah harapan saat pemerintah dan DPR bersama-sama membahas RUU Kesehatan, yang saat ini telah sah menjadi UU No. 17 Tahun 2023. Namun, akankah penerapan undang-undang ini sesuai dengan yang diharapkan? Bisakah undang-undang ini mewujudkan sistem layanan kesehatan yang selama ini belum banyak masyarakat rasakan?
Transformasi Kesehatan dalam Paradigma Kapitalisme
Disahkannya UU dan transformasi kesehatan secara istimewa oleh pemerintah ini adalah akibat pergeseran paradigma kesehatan, yakni dari pendekatan kuratif menjadi fokus ke upaya preventif. Akan tetapi, upaya preventif ini ala kapitalisme, yang merupakan upaya pencegahan parsial dengan efek temporal melalui fungsi primary health care (PHC).
Menelisik konsep politik kesehatan kapitalisme dan segala yang direalisasikan darinya, sesungguhnya kapitalisme tidak memiliki konsep preventif dalam makna sesungguhnya, yakni upaya di hulu agar anugerah kesehatan bagi setiap bani manusia terawat sepanjang hayatnya. Ini karena social determinant of health (SDoH) kapitalisme merupakan sistem kehidupan sekuler yang destruktif terhadap kesehatan.
Penting diingat, konsep preventif kapitalistik ini tidak terlepas dari pandangan kapitalisme bahwa kesehatan adalah komoditas dan persoalan ekonomi. Kondisi ini terlihat  pada gagasan bisnis dan industrialisasi sebagai etos sistem pelayanan kesehatan kapitalis. Sebagaimana diungkapkan melalui frasa "demand side", yakni pembeli; dan frasa "supply side", yakni penjual dalam pengertian sistem kesehatan yang terdapat dalam naskah akademik RUU kesehatan.
Selain itu, nampak juga dalam konsep sistem kesehatan yang dijadikan rujukan sistem kesehatan nasional, terutama blok pendanaan, yaitu Six Building Block rancangan WHO, yakni melalui konsep yang dinamai Universal Health Coverage (UHC). Dengan berkedok kesetaraan, kesejahteraan, dan kesehatan universal, faktanya UHC adalah bisnis keuangan kapitalis atau asuransi kesehatan.
Pada akhirnya, "reformasi" bagi sistem kesehatan yang tangguh, serta pengesahan RUU Kesehatan, hanya akan memperparah kerusakan kesehatan di samping memperdalam penderitaan publik. Walhasil, alih-alih derajat kesehatan masyarakat dapat meningkat, justru sebaliknya.
Solusi Sejati dengan Politik Kesehatan Islam
Politik kesehatan Islam adalah satu-satunya politik kesehatan yang ideal. Islam memandang kesehatan harus disterilkan dari aspek bisnis. Sebaliknya, aspek ri'ayah (pengurusan) kepentingan rakyat adalah satu-satunya yang ditonjolkan pada visi dan fungsi negara. SDoH Islam dirancang bagi kesejahteraan manusia, bahkan seluruh alam. Hasilnya, perawat dan pelestari kesehatan menjadi karakter terintegrasi dalam politik kesehatan Islam. Secara umum konsep politik kesehatan Islam tertuang dalam firman Allah SWT,, " ... Yang menciptakanku, lalu Dia menunjukiku; Dan yang memberi makan dan minumku; Dan jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku; Dan yang mematikanku, kemudian akan menghidupkanku." (QS Asy-Syu'araa [26]: 78-81).
Lima Dimensi Istimewa
- Pertama: Bagian integral sistem kehidupan Islam.
Sistem kehidupan dan peradaban Islam dilangsungkan untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun naluri manusia berjalan sesuai syariat demi rida Allah sebagai kebahagiaan tertinggi yang diupayakan secara serius oleh setiap muslim. Hal ini didukung kuat oleh keberadaan masyarakat Islam yang memiliki pola hidup islami dan juga peran negara dalam menerapkan aturan yang sesuai dengan Islam serta memasifkan pembangunan dalam bingkai sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi dan politik Islam, di samping sektor kesehatan itu sendiri.
- Kedua: Preventif prioritas.
Intervensi preventif adalah perkara prioritas dalam politik kesehatan Islam. Tidak hanya penyakit menular, melainkan juga yang tidak menular. Intervensi preventif ini menjadi prioritas karena berlandaskan pada sejumlah pandangan, di antara yang terpenting adalah negara merupakan pihak paling bertanggung jawab atas kesehatan tiap individu masyarakat. Kuncinya ada pada upaya preventif, di samping upaya kuratif.
- Ketiga: Universalitas upaya kuratif berkualitas dan sistem kesehatan yang tangguh.
Apa pun status sosial, agama, ras, warna kulit, semuanya adalah rakyat. Dimensi ini akan menutup rapat celah perlakuan diskriminasi, di samping adanya kemudahan dalam akses. Kendati gratis, fasilitas tersebut berkualitas tinggi dan ditambah dengan sistem layanan kesehatan yang kuat. Hal ini dibangun di atas tiga pilar yang kokoh: pilar tenaga kesehatan didukung sistem pendidikan Islam, pilar riset yang didukung politik riset yang sahih, dan pilar teknologi yang didukung politik industri berbasis industri berat serta pembiayaan kesehatan, didukung dengan konsep anggaran mutlak berbasis baitulmal.
- Keempat: Tanggung jawab negara dan sentralisasi kekuasaan.
Rasulullah saw. bersabda, "Penguasa itu pengurus dan penanggung jawab urusan rakyatnya." (HR Imam Bukhari). Tanggung jawab penting ini hanya dapat dicapai melalui kekuasaan yang setara, model kekuasaan sentralistis dan teknik pelaksanaan yang desentralisasi berdasarkan tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelaksanaan, dan oleh individu yang kompeten.
- Kelima: Penanganan urusan kesehatan kondisi darurat secara efektif dan efisien.
Dimensi ke-5 ini adalah akumulasi dari empat dimensi sebelumnya. Jika terjadi keadaan darurat, seperti banjir, gempa bumi, atau wabah penyakit, khalifah mengambil tindakan khusus untuk semaksimal mungkin menjamin kelangsungan pengurusan umat. Khalifah juga akan menugaskan para pakar dan ahli pada setiap penanganan intensif tersebut, dari segi membuat rancangan kekinian, juga strategi pelaksanaannya agar kehidupan dalam masyarakat tidak terhenti.
Demikianlah politik kesehatan Islam berkemampuan mumpuni dalam perawatan dan pelestari kesehatan setiap manusia sepanjang hayatnya. Politik kesehatan Islami ini merupakan kunci rahasia untuk mencapai sistem kesehatan yang tangguh yang tidak hanya berujung pada keberhasilan upaya pencegahan di hulu, namun juga keberhasilan upaya pengobatan di hilir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H