Pukul 21.30 WIB, akhirnya kami sampai ke pusat kota Berastagi, Karo. Melebihi target waktu sampai yang sebelumnya telah kami prediksi tiba pukul 19.00 WIB. Ternyata puncak kemacetan terjadi di sini. Jalan lingkar yang mengelilingi tugu kota disesaki kendaraan, dan tak satupun kendaraan yang bergerak. Gara-gara kemacetan itu, hampir semua tempat disesaki manusia. Mulai dari SPBU, warung kaki lima, kafe-kafe, hingga mini market di kota ini. Orang-orang seperti membunuh waktu, menunggu berakhirnya macet yang melanda jalanan di Berastagi.Â
Seperti rencana semula, kami pun memasuki warung kopi yang sebenarnya lebih tepat disebut coffee shop. Sembari melepas lelah perjalanan, juga menebar pesan kepada teman-teman yang tinggal di kota ini. Siapa tahu ada teman yang bisa membantu, mencarikan narasumber yang pas untuk diwawancarai. Gayung bersambut, pesan kami disahuti. Tapi keberadaan narasumber itu tidak di Berastagi, namun di Kabanjahe. Tepatnya di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabanjahe. Jaraknya dari Berastagi sekitar 6,3 kilometer, memakan waktu sekitar 15-30 menit.Â
Tanpa pikir panjang, kami pun bergegas ke sana. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kami memang nekat. Padahal memasuki Kabanjahe, jalanan sudah sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan saja yang melintas. Rumah-rumah penduduk juga terlihat sepi. Begitu juga ketika memasuki Desa Suka. Keadaan sekelilingnya didominasi sawah dan ladang dibandingkan rumah penduduk.Â
Terus terang ada perasaan cemas, namun kami pasrah. Tak boleh kendur, apalagi menyerah. Hingga akhirnya sampailah kami di warung kopi yang di maksud. Waktu menunjuk pada angka 23.30 WIB. Teman bersama nara sumber pilihan itu menyambut kami dengan senyuman. Mereka kaget kami mengendarai sepeda motor. Dalam pikir mereka, kami mengendarai mobil. Ya kami memang nekat.Â
Wawancara berlangsung santai juga luwes. Sesekali kami tertawa mendengar kisah di balik nama sang nara sumber. Tanpa terasa, waktu sudah menunjuk pukul 01.00. Mau tak mau rencana bermalam masuk dalam agenda peliputan kami malam itu. Karena tak mungkin kami langsung kembali pulang ke Kota Medan. Untuk yang satu ini, kami tidak mau nekat. Skema rencana susulan pun tercipta di benak kami. Beristirahat sebentar di hotel, menunggu pagi, baru pulang ketika matahari bersinar di Karo.Â
Lantas teman kami itu pun mengantarkam kami ke sebuah tempat penginapan yang berada di pusat kota Kabanjahe. Setelah mengucapkan terima kasih dan saling bersalaman, kami pun memasuki tempat penginapan itu. Belum lagi sepeda motor kami terparkir, seorang lelaki bertubuh besar mengatakan kalau kamar sudah penuh. Sekalipun ada yang kelas VIP, biayanya mencapai satu juta rupiah per malam.Â
Sementara kami hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk beristirahat. Kami pun menolak, lantas berbalik arah meninggalkan tempat penginapan itu. Tak patah arang, kami terus mencari tempat penginapan. Mendatangi satu per satu tempat penginapan. Namun nihil, kamar di seluruh tempat penginapan di kota ini penuh.Â
Mungkin dengan bantuan aplikasi traveloka atau mesin pintar google, kami bisa mendapatkan informasi. Nihil juga. Informasi yang kami dapatkan hanyalah sebuah pemberitahuan yang mengabarkan, semua kamar hotel di kota ini penuh. Termasuk Redoorz, juga OYO. Tak satupun yang masih menyediakan kamar kosong. Penuh.Â
Karena hanya butuh istirahat beberapa jam, kami pun menyasar warung kaki lima, kafe, sampai restoran yang buka 24 jam. Ternyata setiap kali ditanya, jawaban pemilik tempat makan itu serupa. Sebentar lagi warung, kafe, restoran mereka akan tutup. Kami mati bakat, juga mati langkah. Tak tahu mau istirahat di mana. Juga tak mengerti harus ke mana.
Sampailah kami mendatangi sebuah mini market. Â Terletak di Jalan Tambak Lau Mulgap, Berastagi. Ini merupakan satu-satunya mini market yang masih buka kala waktu sudah menunjuk pukul 02.00 WIB. Kepada pegawainya pertanyaan sederhana kami lontarkan. Apakah mini market ini bukan24 jam? Sang pegawai mengangguk. Kami pun gembira, segembira mendapatkan tempat penginapan.Â