Jika ada yang bertanya seperti apa saya mengawali cerita 2020 dalam hidup saya? Saya akan menjawab: Menggelandang di kota orang.
Ini bermula karena tugas peliputan yang diberikan oleh atasan saya untuk konsep tematik yang diberlakukan oleh kantor saya per 2020 ini. Tahun baru, konsep baru, etos kerja baru, pengalaman baru, dan mudah-mudahan kesuksesan yang baru bagi saya juga bagi kantor di mana saya bekerja. Amin.Â
Kebetulan saya ditugasi mewawancarai orang-orang bersuku Karo yang memiliki nama unik. Sejak mendapati tugas itu (Minggu, 29 Desember 2019) sebetulnya saya telah berupaya maksimal untuk mencari informasi terkait itu. Bertanya kepada teman-teman, bertanya kepada saudara seibu dan sebapak. Namun hingga Selasa, upaya saya nihil. Entah apa yang merasuki saya, pada Rabu (1/1) tiba-tiba terlintas begitu saja ide di dalam benak saya untuk langsung mendatangi pusat hidupnya masyarakat bersuku Karo itu. Ya di mana lagi jika bukan di Berastagi, Sumatera Utara, dan sekitarnya.Â
Saat itu saya hanya berpikir sederhana. Mendatangi kota itu, kemudian berharap bisa menemukan narasumber yang tepat untuk tugas peliputan saya. Melakukan wawancara, kemudian kembali ke Medan. Bonusnya bisa jalan-jalan ke kota yang kental disebut sebagai 'kota buah' dan 'negeri di atas awan' itu. Liputan sembari berwisata, bukankah itu menyenangkan.Â
Karena skema di benak saya sesederhana itu, tentu agenda bermalam tak termasuk dalam rencana. Maka gaya saya santai saja. Memakai celana pendek 7/8, alas kaki tanpa kaos kaki, tubuh yang dibalut hoodie tebal berkupluk, dan menyandang tas kecil. Pun begitu dengan suami yang menemani saya. Hanya memakai celana pendek 7/8, mengenakan jaket tebal, dan sebuah topi yang nangkring menutupi kepalanya.Â
Kami bergerak dari Kota Medan sejak pukul 17.00 WIB. Dengan menaksir waktu perjalananan yang normalnya hanya memakan waktu dua jam saja ini, kami pastikan akan sampai pada pukul 19.00 WIB. Ah, kami memang terlalu percaya diri.Â
Bayangan kami memang tak neko-neko. Apalagi kami pikir, orang-orang yang merayakan malam tahun baru di kota itu pastilah sedang bergerak pulang menuju rumahnya ke kotanya masing-masing. Tiba di Pancur Batu situasi jalanan tampak normal. Tak terendus wangi macet sepanjang kami jalani. Meski hujan tipis mengawani perjalanan kami, tapi semuanya masih terlihat aman juga nyaman.Â
Mendekati kawasan Sembahe, situasi jalanan tampak timpang. Terlihat jalur arus balik dari arah Berastagi begitu padat. Sementara jalur arus datang dari Medan menuju Berastagi begitu lengang. Keadaan jalan begitu terus, hingga puncaknya di kawasan Penatapan. Lokasi ini merupakan titik peristirahatan awal pengunjung yang datang ke Berastagi. Sepanjang kawasan Penatapan, terdapat warung jagung yang mewarnai di setiap sisi jalan. Sehingga banyak kendaraan yang parkir di sisi kanan dan kiri jalan. Itu sebab jalanan yang macet jadi tambah macet.
Belum lagi kabut yang menyertai perjalanan. Boleh dibilang jarak pandang mata hanya lima meter. Begitupun keadaan ini tak menyurutkan langkah. Kami malah penasaran dan ingin mengetahui titik akhir dari kemacetan ini. Apa sebab, dan apa yang sebetulnya terjadi di depan sana. Melewati kawasan Penatapan, kemacetan kian menjadi-jadi. Kendaraan bahkan tak bergerak. Hanya pengendara sepeda motor saja yang nampak bergerak mengambil sisi kiri jalan. Pelan-pelan, yang penting selamat.Â
Sebagian pengendara sepeda motor ada juga yang enggan melewati sisi kiri badan jalan. Pasalnya hujan yang tak berhenti membuat tanah cokelat berlumpur menjadi becek dan licin. Dikhawatirkan sepeda motor malah tak bisa melalui jalan itu, hingga akhirnya terjebak atau malah tergelincir karena licin.Â