Mengawinkan disiplin yang paling keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Ibarat novel ia mencerahkan. (1973 Tom Wolfe: The New Journalism).
'The New Journalism' adalah antologi jurnalisme tahun 1973 yang diedit oleh Tom Wolfe dan E. W. Johnson. Buku ini merupakan manifesto untuk jenis jurnalisme baru karya Wolfe, dan kumpulan contoh Jurnalisme Baru karya penulis Amerika, yang mencakup berbagai topik mulai dari yang remeh hingga yang sangat serius.
Tom Wolfe tidak menciptakan 'jurnalisme baru', juga tidak memberikan nama ini. Dalam esai tahun 1973 yang berpengaruh, 'The New Journalism' (yang memperkenalkan antologi dengan nama yang sama).
Wolfe menggambarkan genre baru sebagai jurnalisme yang bertuliskan 'seperti novel' karena menggunakan empat teknik yang digunakan oleh para novelis: mengatur cerita dalam adegan-adegan tertentu alih-alih dalam tren 'historis' yang terkilir; ekstensif menggunakan dialog realistis; narasi sudut pandang dari sudut pandang karakter; dan mata untuk detail 'status' sehari-hari yang mengungkapkan realitas sosial karakter.
Wolfe menjelaskan bahwa menempatkan perangkat sastra ini untuk digunakan dalam jurnalisme bertentangan dengan aturan tradisional tentang objektivitas dan netralitas dalam jurnalisme; tetapi genre baru berbeda dari bentuk-bentuk sastra nonfiksi lainnya persis dengan apa yang diambil dari jurnalisme --- pelaporan faktual berdasarkan 'kerja keras', wawancara ekstensif, fakta yang dapat diverifikasi, dan detail yang dapat diamati.
"Para penulis fiksi ((menyerahkan)) kekuatan unik ini untuk mencari jenis fiksi yang lebih canggih. Jurnalis sekarang menikmati keuntungan teknis yang luar biasa. Mereka memiliki semua jus.
Pekerjaan yang dilakukan dalam jurnalisme selama 10 tahun terakhir dengan mudah mengungguli pekerjaan yang dilakukan dalam fiksi .Tekniknya sekarang tersedia, dan waktunya tepat."
Bangun dan Mulai. Sekarang, atau tidak sama sekali.
Wacana
Kalimat itu saya unggah di akun IG saya (lubisanileda). Muasalnya akibat santernya wacana tentang berakhirnya media massa cetak (koran, majalah, bulettin, dan sejenisnya) di era yang serba digital kini. Wacana itu kok rasanya terus mengiang di benak saya.
Apalagi setahun belakangan kabar tak enak tentang matinya beberapa media massa cetak di Indonesia pun luar negeri menjadi bukti konkrit sekaligus apologi bagi wacana itu. Sebutlah Koran Express di Washington DC, Tabloid Bola di Jakarta, Koran Medan Bisnis di Kota Medan berakhir di tahun yang sama (2019).
Maka dari nyata yang terjadi itu apakah media massa bisa bertahan di zaman now? Saya jawab bisa! Asalkan mau. Hemat saya, jatuhnya media massa cetak saat ini disebabkan kita; para insan pers ini enggan move on dari zona nyaman warisan zaman old.
Insan pers itu bukan hanya sebatas para pekerja teks semata, namun tim perusahaan pers secara keseluruhan. Mulai dari pemilik perusahaan pers, pimpinan perusahaan, tim marketing, bagian pemasaran, bagian iklan, termasuk pimpinan redaksi, para awak redaktur, jurnalis, fotografer, hingga layouter.
Lalu jika sudah mau berubah. Lantas apa yang akan dilakukan? Mulailah berbenah diri dari segala sektor. Aktualitas memang perlu dan penting, apalagi tentang kecepatan informasi yang sampai ke masyarakat itu juga menjadi kewajiban bagi sebuah perusahaan pers dalam menyajikan informasi bagi masyarakat.
Namun saat ini, soal aktualitas dan kecepatan informasi sudah habis diburu oleh media massa berbasis online. Tak sampai semenit, bahkan dalam hitungan detik, kejadian atau peristiwa yang terjadi saat itu juga sudah bisa diakses masyarakat melalui ponsel pintar di tangannya. Informasi telah sampai ke benak masyarakat sebagai pengetahuan baru. Tanpa harus menunggu media massa cetak menyajikannya esok hari.
Memilih indepth news agaknya selaras dengan nasib media massa cetak saat ini. Dengan tetap menyelipkan keaktualan peristiwa atau kejadian, sejatinya pimpinan redaksi fokus untuk mengarahkan awak jurnalis yang berada di lokasi peristiwa untuk mencari bahan-bahan berita terkait peristiwa itu lebih mendalam.
Pimpinan redaksi beserta wakil pimpinan redaksi juga harus tanggap dengan peristiwa itu. Melakukan rapat khusus bersama awak redaktur. Memetakan angel berita, sigap memberikan tor pertanyaan-pertanyaan atau panduan peliputan kepada jurnalis yang berada di lapangan melalui kordinator peliputan. Jangan juga lupa libatkan layouter juga fotografer untuk merancang desain perwajahan esok hari.
Jika dipikir dibandingkan media massa online yang bergerak begitu cepat dan aktual. Media massa cetak memiliki kelebihan waktu yang begitu panjang untuk mengerjakan sebuah proses jurnalistik yang mendalam secara maksimal. Hal itu yang sebenarnya luput dari mind set para awak media massa cetak saat ini.
Keluputan itu juga yang membuat berita mengenai peristiwa tampak sama di media massa online dan cetak. Padahal media massa cetak memiliki cukup banyak waktu untuk mengemas angel yang berbeda dengan sajian media massa online.Â
Sayangnya para awak media massa cetak masih terpaku dengan prinsip 'jangan sampai bobol, itu yang utama'. Sedangkan saat ini masyarakat butuh informasi utuh dan jelas. Bukan sekadar berita yang menginformasikan terjadinya sebuah peristiwa. Tapi hal-hal lain terkait peristiwa yang menjawab rasa penasaran masyarakat terhadap peristiwa itu.
Untuk itu dibutuhkan kepiawaian jurnalis yang bekerja di lapangan agar mengeksplor bahan berita secara mendalam. Sejalan dengan itu dibutuhkan juga dukungan jajaran pimpinan untuk mencapai suksesnya pemetaan berita yang disajikan esok hari.
Saya bayangkan bagaimana berita straight news dikemas secara indepth dalam sajian berita-berita di media massa cetak harian. Ada reportase kemudian deskripsi, juga analisis sampai prediksi. Masyarakat yang membaca berita itu bukan hanya sekadar memenuhi hausnya informasi, tapi juga teredukasi terhadap sebuah pemberitaan karena disampaikan secara utuh dan jelas.
Produk Andalan
Menurut saya idealnya sebuah peristiwa harus dikemas media massa cetak harian dengan menetapkan tiga produk jurnalistik sebagai andalannya. Pertama, menyajikan straight news yang memiliki kedalaman seperti indepth news. Selain tetap memperhatikan unsur 5W+1H juga harus melibatkan segala sisi angle juga nara sumber-nara sumber kompeten terkait berita.
Kedua, menyajikan tulisan feature dengan menitikberatkan pada angle khusus; tetap terhubung dengan berita utama (straight news) namun lebih mengeksplore sisi lain di balik peristiwa, yang tak disangka juga tak terduga oleh masyarakat. Sehingga meskipun menjadi bagian dari berita utama, namun tetap menjadi informasi baru.
Ketiga menyajikan rekam gerak melalu lensa fotografer. Sesuatu yang bersifat humanis; syarat dengan kemanusiawian. Faktor lain yang mendukung adalah dibutuhkannya kreativitas seorang layouter untuk membingkainya sebagai wajah koran esok hari.
Namun apa daya wacana tetaplah wacana. Sampai saat ini nyatanya masih banyak awak media massa cetak harian yang tidak melek dengan perubahan yang terjadi. Apalagi media massa cetak harian yang berbasis di daerah. Di kota yang saya tinggali ini, masih ada media massa cetak harian yang mempertahankan prinsip koran jadul sembilan kolom, ketika semua koran telah beralih menjadi tujuh kolom.
Masih ada juga perusahaan koran yang memberi gaji para jurnalisnya di bawah UMR. Padahal wartawannya ditugasi meliput berita tentang aksi demo para buruh yang memohon agar buruh digaji sesuai UMR di kantor gubernur. Lalu berita itu menjadi berita utama (headline) di koran yang sebagian karyawannya belum digaji sesuai UMR itu.
Entahlah, saya pikir masih ada kesempatan mengubah mind set, mengubah sistem, memilih awak pers yang berkualitas untuk membangun sebuah jurnalisme baru persis yang disebut Tom Wolfe. Ya paling tidak peluang itu ada.
Dan terpenting jikalaupun media massa cetak harian telah sampai di ujung ceritanya, bukankah sebaiknya para awak pers memulainya dengan membuat kenangan-kenangan manis melalui sajian produk-produk jurnalistik yang tak terlupakan.
Jika wacana yang mengatakan bahwa media massa cetak sedang menuju kematian ini kelak menjadi kenyataan. Paling tidak para insan pers telah melakukan sesuatu untuk tetap mempertahankannya. Tapi sudahlah, wacana tetap saja wacana kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H