Kata kuncinya adalah semua yang kita unggah dan tampilkan di media sosial adalah data. Nah, data digital itu tidak dapat musnah sepenuhnya, meski sudah dihapus dan tidak lagi muncul di beranda kita. Kalau mau dicari, ada.Â
Orang lain pun bisa saja sudah menyimpan data tersebut sebelum kita hapus. Bukankah screenshot dari gadget sangat mudah untuk dilakukan? Tak butuh waktu lama. Bahkan hanya dalam satu detik, dari genggaman tangan kita.
Tentu saja, kita berharap semua kontak WhatsApp di ponsel kita adalah orang baik. Kita ingin teman-teman di media sosial pun orang-orang yang baik. Namun sayangnya, tidak semua manusia adalah orang baik, terutama di era digitalisasi seperti sekarang.
Coba kita ingat kembali. Dulu kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) bisa dibilang sulit untuk didapatkan datanya, karena hanya digunakan untuk urusan-urusan penting.Â
Sekarang orang dengan mudahnya memberikan ke sejumlah pihak, termasuk yang tidak dikenal. Apalagi setelah data seluruh warga negara dibobol hacker beberapa waktu yang lalu.
Pun mengetahui nama ibu untuk mengakses data buku rekening di bank, kalau dulu hanya keluarga yang tahu. Namun kini, para ibu yang justru menyantumkan nama anak-anaknya di media sosial. Bukankah sedemikian mudah data anak-anak kita dibobol di masa depan?
Kita memang tidak bisa mengontrol apa yang ingin orang lain lakukan terhadap keluarga kita. Yang bisa kita lakukan adalah melindungi keluarga kita dengan segenap kemampuan kita.Â
Begitu juga dalam pendokumentasian keluarga dan penggunaan media sosial. Tidak ada yang salah dengan proses dokumentasi, karena momen tumbuh kembang anak yang takkan pernah terulang kembali menjadi hal yang perlu diabaikan.Â
Saya pun melakukan pendokumentasian proses tumbuh kembang anak. Namun, tidak selalu semunya diunggah ke media sosial, bukan?
"Lho, Mbak Luana kan orang tua juga! Jangan sok-sokan nasehatin deh! Jangan-jangan ikutan posting juga. Memang nggak posting kegiatan MPLS anaknya di sekolah?" Mungkin ada dari Kompasianer yang bertanya dalam hati.