"Berani menikah, berarti harus siap punya anak"
Saya ingat betul pernyataan tersebut yang disampaikan oleh pembimbing rohani saya dan suami saat konseling pra nikah beberapa tahun yang lalu.Â
Saya dan suami yang saat itu masih berpacaran memilih pembimbing rohani dari gereja sebagai konselor pranikah.
Setelah resmi menikah, suami dan istri telah sah untuk berhubungan intim. Dalam pelajaran biologi pada waktu sekolah pun dijelaskan, ketika sel telur dan sel sperma bertemu, kemungkinan untuk menjadi janin itu selalu ada.Â
"Kan bisa diprogram, mau jadi atau enggak", mungkin ada sebagian orang yang berpendapat demikian. Iya benar, namun kita tidak akan tahu rencana Tuhan.
Jika setelah menikah, kamu diberi kesempatan untuk hidup berdua dulu dengan pasangan, itu tidak masalah. Kalian punya banyak kesempatan untuk saling mengenal dan memahami pribadi maupun keluarga.Â
Namun jika ternyata kamu atau pasangan kamu langsung diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk langsung hamil, mau berkata apa? Siapa pun tidak ada yang bisa mencegah kalau Tuhan sudah berkata, "Ya, inilah saatnya."
Oleh karena itu, membahas tentang anak sangat diperlukan oleh pasangan saat hubungan mengarah serius. Bukan sekadar berdiskusi tentang nanti waktu acara pernikahan pakai gaun dan jas warna apa, tema dekorasinya bagaimana, MUA-nya pakai jasa siapa, lokasinya mau pakai di mana, bulan madu nanti enaknya jalan-jalan ke mana.Â
Hal-hal seperti itu memang penting dipersiapkan oleh pasangan yang akan menikah, namun bukan yang utama.
Jika ada kesempatan untuk melakukan konseling pernikahan, baik itu dengan pemuka agama atau psikolog, akan jauh lebih baik.Â
Berdiskusi dengan konselor akan menolong calon suami-istri untuk saling mengenal lebih baik dan mendapatkan gambaran kehidupan setelah menikah itu seperti apa. Biasanya lamanya durasi konselor akan disepakati bersama. Ada yang cukup beberapa kali pertemuan, beberapa bulan, hingga setahun.