Belakangan ini, sebagian dari kita mungkin sudah mulai menerima undangan dari teman, kerabat, maupun kolega yang menikah.Â
Bagi yang berada di dalam kota, biasanya akan menerima undangan fisik dan diharapkan kedatangannya ke lokasi.Â
Terlepas rumah, tempat ibadah atau hotel yang menjadi tempat penyelenggaraan acara pernikahan, tentu penyelenggara harus sadar betul akan keberadaan pandemi, tetap perhatikan protokol kesehatan serta peraturan pemerintah terkait pengadaan acara.Â
Kenapa saya katakan penyelenggara yang sadar betul akan keberadaan pandemi? Karena nyatanya, hingga saat ini masih ada saja tuan rumah yang menjalankan hajatan tanpa izin, tidak menerapkan protokol kesehatan,mengundang banyak sekali tamu, dan masih banyak lagi.
Mengerucut ke pihak yang menikah, tentu mengikat janji sehidup semati di masa pandemi menjadi tantangan tersendiri.Â
Ada yang merasa bersyukur dengan keberadaan pandemi ini, sehingga mereka dapat menikah dengan sederhana.Â
Mereka tidak perlu repot mengundang banyak tamu, menyediakan makanan berlimpah, menyewa gedung pesta, dan melakukan beragam tetek bengek yang kerap disinggung tamu undangan. Namun ada juga pasangan yang mementingkan ikatan resmi lebih dulu, baru mengadakan resepsi setelah pandemi membaik atau bahkan berakhir. Kebanyakan anak muda menggaungkannya dengan pernyataan, "Yang penting, nikah aja dulu!"
Secara pribadi, ada yang mengganjal dalam hati saya ketika mendengarkan pernyataan tersebut. Pernikahan seolah-olah dipandang sebagai syarat wajib untuk mengikat seseorang atau melakukan sesuatu, selanjutnya dilihat saja nanti. Padahal, pernikahan merupakan satu ikatan antara dua orang di hadapan Tuhan untuk hidup bersama sampai maut memisahkan.
Namun, pemandangan uwu yang banyak dilakukan oleh para influencer di media sosial rasanya kurang pas, pasalnya bisa menyebabkan makna pernikahan menjadi bias.Â
Hasilnya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pun ingin menikah, demi mencapai "ke-uwu-an" serupa. Setidaknya, inilah yang saya baca di postingan Facebook yang tidak sengaja saya temukan.
"Berani menikah, berarti harus siap punya anak"
Saya ingat betul pernyataan tersebut yang disampaikan oleh pembimbing rohani saya dan suami saat konseling pra nikah beberapa tahun yang lalu.Â
Saya dan suami yang saat itu masih berpacaran memilih pembimbing rohani dari gereja sebagai konselor pranikah.
Setelah resmi menikah, suami dan istri telah sah untuk berhubungan intim. Dalam pelajaran biologi pada waktu sekolah pun dijelaskan, ketika sel telur dan sel sperma bertemu, kemungkinan untuk menjadi janin itu selalu ada.Â
"Kan bisa diprogram, mau jadi atau enggak", mungkin ada sebagian orang yang berpendapat demikian. Iya benar, namun kita tidak akan tahu rencana Tuhan.
Jika setelah menikah, kamu diberi kesempatan untuk hidup berdua dulu dengan pasangan, itu tidak masalah. Kalian punya banyak kesempatan untuk saling mengenal dan memahami pribadi maupun keluarga.Â
Namun jika ternyata kamu atau pasangan kamu langsung diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk langsung hamil, mau berkata apa? Siapa pun tidak ada yang bisa mencegah kalau Tuhan sudah berkata, "Ya, inilah saatnya."
Oleh karena itu, membahas tentang anak sangat diperlukan oleh pasangan saat hubungan mengarah serius. Bukan sekadar berdiskusi tentang nanti waktu acara pernikahan pakai gaun dan jas warna apa, tema dekorasinya bagaimana, MUA-nya pakai jasa siapa, lokasinya mau pakai di mana, bulan madu nanti enaknya jalan-jalan ke mana.Â
Hal-hal seperti itu memang penting dipersiapkan oleh pasangan yang akan menikah, namun bukan yang utama.
Jika ada kesempatan untuk melakukan konseling pernikahan, baik itu dengan pemuka agama atau psikolog, akan jauh lebih baik.Â
Berdiskusi dengan konselor akan menolong calon suami-istri untuk saling mengenal lebih baik dan mendapatkan gambaran kehidupan setelah menikah itu seperti apa. Biasanya lamanya durasi konselor akan disepakati bersama. Ada yang cukup beberapa kali pertemuan, beberapa bulan, hingga setahun.
Kalau biasanya yang ditampilkan orang di media sosial adalah sesuatu yang indah, jangan harap konselor berkata hal yang sama. Sebaliknya, konselor akan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi ke depan, termasuk soal anak.
Terlahir dari keluarga yang berbeda, tentu membuat kamu dan pasangan memiliki kehidupan yang berbeda pula.Â
Latar belakang dan pola pengasuhan orangtua menjadi dua di antara hal yang membentuk kalian, sehingga menjadi sosok yang seperti sekarang ini.Â
Hal inilah yang harus disesuaikan di antara kamu dan pasangan. Untuk disamakan, jelas tidak mungkin. Oleh karena itu, kerelaan hati untuk menerima dan terus belajar menjadi kuncinya.
Satu, setelah wanita menikah, dia akan tetap bekerja atau menjadi ibu rumah tangga?
Kedua, dalam pengasuhan anak, siapa yang akan lebih banyak berperan? Istri, suami, atau berdua?
Ketiga, terkait nutrisi anak, mau full ASI, full sufor, atau kombinasi di antara keduanya?
Keempat, jika istri bekerja, lantas bagaimana dengan pengasuhan anak? Apakah bergantian dengan suami, dititipkan kepada orang tua, mertua, atau baby sitter?
Kelima, bagaimana pengelolaan keuangan keluarga dengan kondisi suami dan istri yang bekerja? Dan masih banyak lagi.
Oya, hal tersebut baru pembicaraan internal di antara suami-istri dan belum termasuk dengan keluarga besar. Jika rekan-rekan Kompasianer ingin menambahkan, saya persilakan untuk berkomentar di bawah.
Nah, melihat banyaknya hal yang kompleks di atas, apakah kamu dan pasangan yakin untuk menikah cukup dengan bermodalkan, "Yang penting nikah aja dulu yuk?"
Apapun keputusan kamu dan pasangan, pastikan diskusikan apa yang menjadi kesukaan dan ketidaksukaan di antara kalian, lalu temukan solusinya berdua. Jika perlu, kamu dan pasangan bisa berkompromi, agar tidak memberatkan salah satu pihak.
Dari sinilah, calon pasangan suami-istri biasanya akan mulai berpikir jauh. Akan jauh lebih baik ketika dipersiapkan dan didiskusikan lebih awal, dibandingan pada saat kehamilan sudah terjadi. Dengan kesiapan diri, mental diri dan pasangan tentu akan lebih terjaga.
"Kalau masih punya rasa trauma keluarga atau takut dengan pernikahan, gimana?"
Nah, itu akan saya bahas di tulisan selanjutnya. Tunggu ya!
Kediri, 17 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H