Menjalankan landasan agama bukan berarti sibuk dengan "dunianya" sendiri melainkan juga mempedulikan orang-orang sekitar. Hal inilah yang diterapkan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Karunia, Desa Campurejo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri dalam hidup bermasyarakat. Kesadaran untuk hidup membaur dengan warga setempat itu, selain karena lokasi gereja yang berdampingan dengan perkampungan warga, tidak lepas dari peranan gembala sidang gereja tersebut, Pdt. Ed Merdhiriawan, S.KH., M.Th.
Langkah awal dilakukan pria yang akrab disapa Merdhi itu, saat ibadah syukur dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-61. Kalau biasanya ibadah syukur kemerdekaan dilakukan pada 16 Agustus setiap tahunnya, tahun 2006 menjadi kali pertama gereja ini mengadakannya pada 17 Agustus. Seperti biasa, ibadah syukur dilakukan di dalam gereja untuk mendoakan kebaikan bagi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang, seperti keamanan, ekonomi, pemerintahan dan kedamaian.
"Yang lebih istimewa, sesudah ibadah syukur, kami mengajak warga sekitar ikut makan bersama jemaat di halaman. Hanya makan bersama tapi tidak ada sekat atau batasan antara warga dengan jemaat. Semua makan menu yang sama. Jemaat maupun tetangga sekitar mengajak suami, istri dan anak-anak mereka," katanya.
Kebersamaan antara jemaat dengan warga sekitar tidak hanya terjalin di antara orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Salah satunya melalui kegiatan 17-an Sekolah Minggu (SM). Panitia HUT RI GBI Karunia Kediri mengajak anak-anak warga sekitar untuk mengikuti beragam lomba di halaman gereja, seperti lomba makan kerupuk, membawa kelereng menggunakan sendok, memukul air, membawa bendera dan memasukkan paku ke dalam botol. Menariknya, mereka semua bersedia dan berbondong-bondong mengikuti permainan yang telah disiapkan panitia.
Rangkaian perlombaan itu membuat anak-anak SM gereja membaur dengan anak-anak warga sekitar. Wajah lugu bocah-bocah itu menunjukkan hangatnya kebersamaan dalam setiap canda, tawa dan teriakan yang dilontarkan. Aneka hadiah yang disiapkan panitia berupa piala dan alat tulis menarik juga menjadi motivasi tersendiri bagi anak-anak, sehingga mereka bersemangat dalam mengikutinya.
"Pendekatan seperti ini sangat penting karena gereja tinggal di lingkungan masyarakat majemuk, sehingga gereja perlu menjadi pionir dalam kebersamaan," jelas pria yang sempat menempuh pendidikan Strata 1 Kedokteran Hewan di Universitas Airlangga Surabaya itu, sebelum melanjutkan pendidikan Strata 2 Magister Teologia di Sekolah Tingi Teologia Baptis Jakarta (STTBJ), Jakarta.
Meski menyandang status sebagai seorang pendeta, Merdhi berusaha aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, terutama dalam lingkup rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Berkat keaktifan dan kepiawaiannya menjalin komunikasi dengan warga sekitar, ia sempat dipercaya untuk menjadi ketua RT selama empat bulan pada tahun 2008.
"Tetapi saya pun melepaskan jabatan tersebut karena kesulitan membagi waktu dengan pelayanan di gereja dan keluarga, juga warga sekitar. Setelah saya tak lagi menjadi ketua RT, saya masih tetap berkomunikasi dengan baik kepada warga. Lha wongsaya juga masih tinggal di sana."
Menonton Wayang Goyang Bersama, Mengapa Tidak?
Sikap saling menghargai antara kedua belah pihak, membuat jemaat gereja yang beralamat di Jalan dr. Sahardjo 69 Kediri itu pun tak keberatan untuk meminjamkan sejumlah peralatan yang dibutuhkan warga pada acara-acara tertentu, seperti momen kebersamaan dan duka.
Sebaliknya, warga sekitar turut menghargai acara-acara yang diadakan oleh gereja. Untuk kegiatan keagamaan, mereka berusaha menjaga ketenangan. Sementara untuk kegiatan gereja yang memang mengundang warga, mereka turut menghadirinya.
Salah satu acara informal gereja yang mengundang warga adalah pagelaran wayang goyang. Mengangkat tema "Wahyu Karahayon", pertunjukan yang dihelat Rabu malam, 24 Desember 2014 lalu itu dimainkan oleh jemaat yang masih berusia produktif.
Mereka memerankan sejumlah lakon Jawa yang dikombinasikan dengan cerita tentang kelahiran Yesus. Para lakon Jawa antara lain Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Buto, dan Cakil. Sedangkan para lakon Alkitab antara lain Yusuf, Maria, orang majus, dan pemilik penginapan.
"Pemilihan tema tersebut karena konsep dasar Natal adalah membagikan kabar damai untuk semua orang. Selain itu, kami ingin memperkenalkan salah satu kebudayaan Jawa yang ulai luntur secara perlahan, khususnya pada generasi muda," jelas suami Anna Trisnawati tersebut.
Kerinduan jemaat untuk lebih dengan warga sekitar juga terwujud. Warga tak segan duduk bersebelahan dengan jemaat. Bahkan cukup banyak pejalan kaki maupun pengendara sepeda motor yang rela berhenti sejenak untuk menonton pertunjukan wayang goyang di tepi jalan raya. Acara yang tak memungut biaya itu ternyata bisa dinikmati lebih banyak orang. Bukan hanya warga sekitar.
"Tetangga sekitar gereja antusias sekali pada saat gereja merayakan Natal 2014 dengan menampilkan wayang goyang. Dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan tidak malu duduk berdekatan dengan jemaat untuk menonton dan bersama. Mereka malah penasaran dengan lakon yang dimainkan," kata Merdhi, "Semangat berbagi berkat inilah yang harus selalu kita pupuk dan sebarkan kepada orang-orang di sekitar karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi dan memberkati kita sebagai anak-anak-Nya."
Tak hanya mendapatkan sambutan hangat dari jemaat dan warga sekitar, pagelaran wayang goyang untuk merayakan Natal bersama warga sekitar ini mendapatkan apresiasi dari Walikota Kediri, Abdullah Abubakar karena gereja dapat menumbuhkan kerukunan antarumat beragama di Kota Kediri dan sekitarnya. Saat itu, Abdullah hadir bersama sejumlah pejabat dari Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Kota Kediri, Paguyuban Antar Umat Beragama (PAUB) Kota Kediri, Polres Kota Kediri, dan Yonif 521.
Anak Muda Saling Ajak Berbagi, Siapa Takut?
Semakin mendekat dengan alam dan manusia, itulah yang Merdhi tekankan pada generasi muda gerejanya. Salah satunya dengan melakukan kegiatan mission trip atau sebuah perjalanan yang memiliki misi di Desa Ngancar, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, tahun 2010.
Tinggal selama dua hari di GBI Anugerah Blitar Cabang Ngancar, ia menuturkan, para remaja dan pemuda GBI Karunia Kediri mempelajari banyak hal tentang kehidupan, di antaranya kebersamaan, kesejahteraan, sampai kerelaan untuk melayani di tengah kesederhanaan fasilitas yang dimiliki.
“Dari situlah anak-anak muda menyadari, betapa bersyukurnya mereka mendapatkan fasilitas memadai di GBI Karunia Kediri sehingga mereka kembali bersemangat saat kembali melayani di gereja,” tukas ayah dua anak itu.
Semenjak saat itu, para remaja dan pemuda GBI Karunia Kediri mulai membuat agenda mission trip pada periode tertentu. Salah satunya mengunjungi GBI Getsemani Cabang Perning yang terletak di Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, beberapa waktu kemudian.
Mendapatkan berkat dalam mission trip, membuat mereka tidak ingin sendirian berbagi dengan sesama. Lalu mereka mengajak para remaja pemuda lainnya dari beberapa gereja Baptis di Kota Kediri untukmission tripbersama ke GBI Ngudi Mulyo Trenggalek. Di sana puluhan anak muda Kediri ikut menolong membersihkan gereja, serta mengadakan bakti sosial kesehatan dan sembako.
Proses pembagian tugas termasuk penggalian dana, mereka lakukan sendiri dengan sukacita. Dana mereka dapatkan dengan cara menjual barang bekas dan masakan, serta mencuci sepeda motor anggota gereja sesudah ibadah Minggu pagi, selama beberapa periode.
Badan Sehat dan Hati Gembira bersama Warga
Agenda terakhir GBI Karunia bersama warga setempat adalah jalan sehat bersama dalam rangka memperingati hari ulang tahun (HUT) gereja ini, Minggu 15 Januari 2017. Panitia HUT mencatat, sekitar 380 orang yang terdiri dari 200-an jemaat dan 180 warga sekitar yang berasal dari empat RT, berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Tak hanya dihibur dengan permainan musik yang dimainkan para pemuda gereja ini, berbagai hadiah hiburan dan utama menjadi daya tarik tersendiri bagi seluruh peserta jalan sehat. Jemaat maupun warga sekitar harap-harap cemas, setiap kali master of ceremony (MC) membacakan nomor undian. Mereka berharap, nomor yang tertera di kupon yang mereka peganglah yang muncul, terutama untuk hadiah utama.
Pengalaman menarik dirasakan Pur. Wanita paruh baya tersebut menjadi pemenang undian untuk hadiah utama kedua berupa lemari es. Sejumlah warga menuturkan, wanita berkerudung tersebut memang rela tidak langsung pulang ke rumahnya seusai jalan sehat lantaaran menunggu hadiah tersebut. Tak heran, Pur merasa terharu ketika menerima hadiah tersebut, bahkan ketika sejumlah jemaat membantunya menurunkan hadiah dari panggung ke halaman gereja.
Refleksi
Terlepas dari iman apapun yang dipegang teguh, saya rasa, memang kesadaran seperti hal-hal kecil di ataslah yang seharusnya menjadi pegangan setiap umat manusia, termasuk para pemuka agamanya. Kesadaran yang perlu dimiliki adalah betapa pentingnya kita untuk menjadi pribadi yang dewasa di era yang penuh tantangan, seperti kondisi yang terjadi saat ini.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat,ada tiga pengertian dari kata "dewasa". Pertama, sampai umur atau akil balig. Kedua, telah mencapai kematangan kelamin. Ketiga, matang tentang pikiran, pandangan dan sebagainya.
Berdasarkan definisi di atas, kata "dewasa" yang saya maksud adalah pengertian ketiga, yakni matang dalam pikiran, pandangan dan sebagainya. Kematangan tersebut ditunjukkan seseorang melalui kesadarannya akan tugas dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat. Tak usah repot mengurusi orang lain tetapi mempersiapkan diri sendiri saja sebaik-baiknya.
Jika Anda berprofesi sebagai seorang dokter yang memiliki panggilan untuk menyembuhkan orang sakit, coba lakukan usaha yang terbaik untuk menyembuhkan pasien dari penyakit yang dideritanya. Jika Anda bekerja sebagai guru atau tenaga pendidik, persiapkanlah materi ajar dengan matang agar para murid atau mahasiswa yang diampu mendapatkan manfaatnya. Jika Anda. Anda memiliki passion sebagai seorang penulis, hasilkanlah karya yang aktual dan akurat sehingga dapat mengedukasi para pembaca.
Kesadaran itu lahir bukan dari upaya kita memaksakan pemikiran dan idealisme pribadi kepada orang lain, tetapi muncul dari dalam diri sendiri. Ketika kita sudah berupaya melakukan bagian kita dengan sebaik-baiknya, percayalah, proses tak akan pernah mengkhianati hasil. Tanpa kita harus koar-koar menyampaikannya, orang lain sudah melihat dan megetahuinya, Yakinlah, setidaknya dari apapun yang kita lakukan, tentu memberikan dampak bagi orang lain. Minimal pada satu atau dua orang, atau anggota keluarga kita.
Kediri, 12 Mei 2017
Luana Yunaneva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H