Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Trainer BNSP RI, Public Speaker & Professional Hypnotherapist email: Luanayunaneva@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Bassoon dan Piano "Dikawinkan"

13 Januari 2017   18:14 Diperbarui: 14 Januari 2017   10:51 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau pada tulisan sebelumnya, saya sudah membahas penampilan keempat musisi Bandung Philharmonic dalam konser bertajuk “Seri Musik Kamar: Wind”, Senin malam 9 Januari 2017, kali ini saya ingin mengulas permainan dua seniman lainnya dan komposisi yang mereka dibawakan pada sesi kedua.

Seakan belum puas memanjakan telinga para penonton dengan alat musik tiup di di Institut Français Indonesia (IFI) Bandung, audiens disuguhi “perkawinan” antara bassoon dan piano. Dua musisi dari negara berbeda yang memainkannya, yakni Leyla Zamora dari San Diego dan Airin Efferin dari Indonesia.

Airin memuji Leyla sebagai pemain bassoon yang uedan, demikian disampaikannya melalui akun Facebook pribadinya. Konteks uedan atau gila di sini, saya pandang dalam batasan yang positif, yakni sebagai bukti kekaguman.

Leyla Zamora (foto: www.sandiegosymphony.org)
Leyla Zamora (foto: www.sandiegosymphony.org)
Pertemuan keduanya berawal dari sebuah festival di Apple Hill, Amerika, Juli 2016. Saat itu, Leyla menjadi pengajar di sana. Ternyata, wanita yang pernah tergabung dalam Memphis Symphony Orchestra itu sangat ingin terlibat dalam perkembangan musik di Bandung. Bahkan supaya bisa bermain bersama Bandung Philharmonic bulan ini, ia rela mengambil cuti San Diego Symphony. Luar biasa, bukan?

Sebelum berbicara tentang penampilan kedua musisi ini, kita akan sama-sama mengenal lebih dekat alat musik bassoon. Kata ini berasal dari bahasa Inggris, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata “fagot”. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, fagot adalah alat musik tiup dengan ujungnya berupa lembar tipis rangkap yang suaranya besar dan berfungsi sebagai instrumen bas.

Berhubung dalam orkestra, para musisi jarang (bahkan saya tak pernah menemui mereka) menggunakan istilah “fagot”, kita akan gunakan istilah yang normal saja. Bassoon. Alat musik yang terbuat dari kayu itu terdiri atas pipa panjang berbentuk “U” dan logam berbentuk “S” dengan lidah ganda, lengkap dengan corong berbentuk kerucut. Panjangnya bahkan lebih dibandingkan manusia, yakni 8 kaki atau 2,5 meter.

bassoon-anatomy-5879a0312d7a61bb040df276.png
bassoon-anatomy-5879a0312d7a61bb040df276.png
Sebagai instrumen bass, sudah jelas bahwa peranannya adalah menghasilkan alunan nada-nada rendah. Saking rendahnya, bassoon tak mampu menghasilkan nada lebih dari satu oktaf, tanpa mengorbankan kualitas suara.

Sembari membaca tulisan ini, saya sarankan agar Anda sambil mendengarkan sekaligus menyaksikan video yang sengaja saya rekam berikut. Bisa saja menonton video-nya lebih dulu, baru membaca tulisan ini atau sebaliknya. Tentu saja, supaya Anda bisa menghayati dan merasakan atmosfer yang juga saya rasakan selama pertunjukan digelar. Meski sesungguhnya, sensasi ketika menonton konser secara langsung dan tidak langsung, yakni melalui video, itu berbeda. 

Lagu pertama yang mereka mainkan adalah “Habanera”.Baru mengetahui jika komposisi ini populer sebagai iringan musik dansa Cuban, Airin memperdalam penghayatannya berkat bantuan Leyla. Sebelum berlatih bersama, Leyla bahkan mencontohkan tarian Cuban kepadanya. 

Habanera ini lagu yang luar biasa untuk Leyla. Ia harus berjuang keras menaklukkan lagu ini karena bagi pemain alat musik tiup, jauh lebih mudah membawakan lagu dengan tempo cepat, dibandingkan lambat," tukas Airin sebelum memainkan lagu ini bersama partner-nya.

Penuturan Airin ini membuat para penonton berdecak kagum. Ternyata untuk berkolaborasi menghasilkan suatu karya yang indah dan pesan yang mampu diterima audiens, memerlukan wawasan dan penghayatan mendalam dari sang musisi.

Kolaborasi dua negara bersama Bandung Philharmonic dalam konsert bertajuk Seri Musik Kamar: Wind (foto: facebook Airin Efferin)
Kolaborasi dua negara bersama Bandung Philharmonic dalam konsert bertajuk Seri Musik Kamar: Wind (foto: facebook Airin Efferin)
Lagu kedua yang mereka bawakan adalah " Morceau de Salon". Kepiawaian Airin dan Leyla dalam memainkan "senjata" masing-masing memang tak bisa diragukan lagi. Karya Eugene Bourdeau itu berhasil mereka kemas dengan cantik dalam format duet. Sungguh kolaborasi yang "membius" indera pendengaran manusia!

Komposisi ketiga adalah Pièce. Komposisi syahdu ini merupakan karya komponis, organis, pianis dan guru asal Perancis, Gabriel Urbain Fauré. Menurut saya, alunan nadanya tak asing dan tak serumit musik klasik pada umumnya. Ternyata, ini disebabkan gaya musik Gabriel yang memang mempengaruhi banyak komponis abad ke-20. Tak heran, kalau ia menjadi komponis asal negara mode dunia yang paling tersohor pada masanya.

Komposisi keempat sekaligus terakhir adalah Vals Venezolano y Contradanza. Ini adalah perpaduan dua jenis lagu, yakni "Vals Venezolano" atau Venezuelan Waltz yang populer pada abad ke-19 dan "Contradanza" atau jenis musik dan tarian terkenal pada abad ke-18.

Meski jenis lagu yang jadul alias zaman dulu, "Contradanza" mampu menutup pertunjukan Bandung Philharmonic dalam konser bertajuk “Seri Musik Kamar: Wind” dengan apik. Suara tepuk tangan penonton bergema di auditorium, menunjukkan kepuasan warga Kota Bandung akan hiburan musik klasik itu. Bahkan, seorang ibu yang duduk di sebelah saya sempat bertanya, “Oh, ini konsernya sudah selesai ya, Mbak? Segitu aja?” Saya mengangguk.

Tak lama kemudian, Airin mengundang para penonton di auditorium untuk menyaksikan konser Bandung Philharmonic 2017 Season, bertajuk “Earth Season Sky”. Dipimpin direktur artistik, Robert Nordling dan Michael Hall, akan ada empat komposisi yang dimainkan, Sabtu 14 Januari 2017 mendatang, di antaranya Teduh Lautan dan Makmur Perjalanan, Perjalanan ke Taman Surgawi, Borobudur dan Simfoni No. 2 dalam D Mayor (Brahms).

Saya rasa, konser musik klasik semacam ini memang perlu lebih sering digelar untuk memperkenalkan keindahan karunia yang Tuhan percayakan kepada manusia. Tidak hanya di Bandung, tetapi juga seluruh kota di Indonesia. Mungkinkah?

Bandung, 13 Januari 2017

Luana Yunaneva

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi penulis

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun