Komposisi ketiga adalah Pièce. Komposisi syahdu ini merupakan karya komponis, organis, pianis dan guru asal Perancis, Gabriel Urbain Fauré. Menurut saya, alunan nadanya tak asing dan tak serumit musik klasik pada umumnya. Ternyata, ini disebabkan gaya musik Gabriel yang memang mempengaruhi banyak komponis abad ke-20. Tak heran, kalau ia menjadi komponis asal negara mode dunia yang paling tersohor pada masanya.
Komposisi keempat sekaligus terakhir adalah Vals Venezolano y Contradanza. Ini adalah perpaduan dua jenis lagu, yakni "Vals Venezolano" atau Venezuelan Waltz yang populer pada abad ke-19 dan "Contradanza" atau jenis musik dan tarian terkenal pada abad ke-18.
Meski jenis lagu yang jadul alias zaman dulu, "Contradanza" mampu menutup pertunjukan Bandung Philharmonic dalam konser bertajuk “Seri Musik Kamar: Wind” dengan apik. Suara tepuk tangan penonton bergema di auditorium, menunjukkan kepuasan warga Kota Bandung akan hiburan musik klasik itu. Bahkan, seorang ibu yang duduk di sebelah saya sempat bertanya, “Oh, ini konsernya sudah selesai ya, Mbak? Segitu aja?” Saya mengangguk.
Tak lama kemudian, Airin mengundang para penonton di auditorium untuk menyaksikan konser Bandung Philharmonic 2017 Season, bertajuk “Earth Season Sky”. Dipimpin direktur artistik, Robert Nordling dan Michael Hall, akan ada empat komposisi yang dimainkan, Sabtu 14 Januari 2017 mendatang, di antaranya Teduh Lautan dan Makmur Perjalanan, Perjalanan ke Taman Surgawi, Borobudur dan Simfoni No. 2 dalam D Mayor (Brahms).
Saya rasa, konser musik klasik semacam ini memang perlu lebih sering digelar untuk memperkenalkan keindahan karunia yang Tuhan percayakan kepada manusia. Tidak hanya di Bandung, tetapi juga seluruh kota di Indonesia. Mungkinkah?
Bandung, 13 Januari 2017
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H