Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Professional Hypnotherapist & Trainer BNSP email: Luanayunaneva@gmail.com youtube: www.youtube.com/@luanayunaneva

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cukup Sekali, Pengalaman Pertama Ketinggalan Dompet

5 Desember 2016   22:04 Diperbarui: 5 Desember 2016   22:53 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi previews.123rf.com/)

Sepulang dari kantor, tadinya saya dan dua orang teman berencana mengunjungi keluarga anak-anak yang mengikuti sebuah program pengembangan anak (PPA) di Kota Bandung. Sudah terbayang, betapa senangnya bisa mengunjungi orang yang baru saya kenal, lalu mengobrol dengan mereka. Namun sayang, rencana itu tertunda karena salah seorang teman berhalangan. Jadi, kami putuskan untuk melakukan kunjungan pada hari lain dalam minggu kedua Desember 2016.

Akhirnya, saya sempatkan tiduran sebentar di kamar untuk melepaskan lelah, lalu pergi ke toko buku. Niatnya adalah mencari ide dari buku-buku yang terpajang di sana, sembari membeli beberapa alat tulis.

Setiba di sana, saya hanya melihat sekilas buku-buku. Tidak ada yang menarik hati saya. Lalu saya beranjak ke bagian alat tulis. Setelah memilih beberapa barang, akhirnya saya melihat-lihat lagi koleksi buku di rak yang belum saya singgahi. Masih belum ada buku yang menggoda iman saya, hehehe.

Sesampainya di kasir, si mbak pramuniaga menghitung belanjaan dan saya membuka tas. Saya mulai berpikir, kok tas ini ringan sekali? Setelah saya rogoh seisi tas, ternyata fix, dompet saya ketinggalan, pemirsa!

Ini adalah pengalaman pertama saya yang baru menyadari kalau dompet ketinggalan sewaktu akan membayar di kasir sebuah toko. Praktis, saya tidak memegang uang sama sekali dong! Pun identitas diri dan surat-surat berharga seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Sambil malu-malu meong, saya pun meminta maaf dengan sopan kepada mbak pramuniaga dan mengatakan kepadanya kalau dompet saya ketinggalan di rumah sehingga barang belanjaan terpaksa di-cancel. Untung saja, mbaknya nggak jutek. Dia malah tersenyum dan mengatakan, “Tidak apa-apa.”

Masih untung, barang belanjaannya nggak banyak karena saya hanya berniat membeli buku gambar dan alat tulis. Tetapi malunya itu yang nggak ketulungan, hehehe. Sudah jelas, saya tidak membawa kartu debit karena saya meletakkannya di dalam dompet. 

Saya sempat berpikir untuk mengambil uang di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) menggunakan rekening ponsel, salah satu program yang diusung bank tempat saya menabung. Cukup menggunakan handphone, saya tetap bisa mengambil uang di ATM, lalu kembali ke toko buku tadi dan mengambil barang belanjaan. Namun sayang, tidak ada ATM bank tersebut yang tampak di sepanjang jalan yang saya lewati. Jadi, saya harus mengikhlaskan diri pulang ke asrama. Mungkin saya akan kembali ke toko buku itu besok atau lusa. Sekalian berharap, mbak dan mas pramuniaga yang bertugas bukanlah mereka yang masuk shift pada insiden dompet ketinggalan tadi, hehehe.

Meski sedikit kecewa lantaran pulang tanpa membawa barang yang saya butuhkan, saya tetap bersyukur.

Ada tiga hal yang bisa saya petik dan perhatikan untuk ke depannya, dari kecerobohan ini.

Pertama, jangan lupa mengecek barang bawaan sebelum bepergian. Sebenarnya kebiasaan ini sudah saya lakukan. Hanya saya, saya lupa memastikannya kembali sebelum berangkat ke toko buku. Dan pengalaman ini penting untuk teman-teman yang suka gonta-ganti tas, terutama wanita. Sebab, tas yang tadi saya gunakan adalah tas untuk ngantor. Sementara, dompet ketinggalan di tas kecil yang kemarin saya gunakan sewaktu membeli makan malam bersama teman se-asrama. Ketemu kan pokok permasalahannya?

Kedua, berhitung. Mungkin teman-teman heran, apa hubungannya ceroboh dan berhitung? Saya ingat strategi Ayah untuk memastikan barang-barang yang dibawanya setiap akan bepergian, yakni berhitung. Saya memang tidak mengetahui pasti perihal hitungannya seperti apa. Berdasarkan obrolan kami sewaktu saya masih kecil, gambarannya kurang lebih begini.

Beliau menyebutkan angka-angka, mulai satu hingga sekian (yang sudah ditetapkannya sejak awal pada diri sendiri). Setiap kali Ayah menyebutkan satu angka, beliau memegang bagian tubuh atau perangkat yang terpasang di badan. Misal angka satu merujuk pada rambut yang rapi, angka dua memastikan ikat pinggang sudah terpakai, angka tiga merogoh saku celana sebagai tempat menyimpan dompet, angka empat menggunakan kaos kaki dan sepatu yang mengkilat dan seterusnya.

Kalau kesiapan diri pada satu bagian belum benar-benar beres dan rapi, Ayah tidak akan beranjak ke angka berikutnya. Sementara jika penampilan pada satu angka dan bagian sudah oke, baru Ayah melanjutkan berhitung. Meski hitungan sudah berakhir, kadang Ayah mengulanginya lagi, hingga tidak ada satu pun barang atau penampilan yang terlewatkan.

Ketiga, usahakan menyimpan sejumlah uang di saku celana atau atasan, serta selipan tas. Sebenarnya kebiasaan ini juga saya lakukan. Namun lagi-lagi, apesnya, saya tidak melakukannya kali ini. Yang ada di kantong hanyalah uang untuk membayar parkir, hehehe. Maklum, saya termasuk orang yang malas membuka dompet di muka umum, termasuk tempat parkir. Makanya, saya menyisihkan uang receh di kantong celana. Sementara, uang di selipan tas juga sudah terpakai untuk ini-itu sehingga tidak terasa, habis deh, hehehe.

Hal yang saya syukuri juga malam ini adalah tidak ada polisi yang sedang beroperasi. Jadi saya aman dari denda dan sidang atas kecerobohan ini. Pun tidak terjadi hal-hal yang buruk di sepanjang perjalanan saya pulang. Saya bisa pulang ke asrama dengan tenang.

Pengalaman ini membuat saya harus lebih teliti dalam membawa barang. Masih untung, ini adalah barang saya pribadi. Jadi, kalau saya teledor, saya sendiri yang rugi. Kalau yang tertinggal atau terlupakan adalah barang milik orang lain atau berhubungan dengan kepentingan dan keselamatan banyak orang, bahaya kan?

Ada yang punya pengalaman serupa dengan saya? Atau bahkan lebih parah? Janganlah yaaaa...

 

Bandung, 5 Desember 2016

Luana Yunaneva

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun