Helena sudah mengambil posisi di ujung studio. Mendengar alunan komposisi berjudul "The Blue Danube" karya Johann Strauss, ia pun menggerakkan seluruh bagian tubuh sesuai irama. Postur badannya tegak, kakinya melangkah, tangannya mengayun, kepalanya mendongak, dan wajahnya tersenyum manis. Perpaduan yang sempurna. Pandangannya tidak lepas dari dinding kaca di hadapannya untuk memastikan postur tubuhnya tetap terjaga ideal.
Prok, prok, prok, prok! Terdengar suara tepuk tangan dari pintu masuk studio.
Helena tidak menggubris. Ia masih tetap menari.
“Serius sekali kamu, sayang. Hati-hati, postur tubuhmu sudah ke mana-mana lho!” pria itu mengingatkan. Gadis berumur sepuluh tahun itu menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh pada suara yang sangat ia kenal betul.
“Papa.”
“Postur tubuhmu kurang rapi. Kamu mencoba untuk tegak tapi terlalu berlebihan. ” Papa Helena pun mendekat. Ia memegang pundak putri semata wayangnya itu, lalu membenahi posisinya.
"Ini posisi yang benar?”
"Iya, Sayang. Pertahankan ya, kamu pasti bisa!" Hans, sang ayah yang masih kelihatan muda tersebut menepuk pundak Helena.
"Kok Papa tahu?"
"Papa kamu kan juga balerina, Helen, tapi dulu. Waktu masih muda," Mama Helen menyeletuk tiba-tiba. Rupanya ia mendengar pembicaraan dua orang yang disayanginya sejak tadi. Ia menyodorkan sebotol air mineral untuk Helena. "Ayo, minum dulu, sayang!"
"Kok Papa nggak pernah cerita? Mama juga," gadis penyuka warna merah muda itu mulai cemberut. Mama Papanya saling berpandangan. Mereka ingin menyampaikan sesuatu namun ada yang memberatkan keduanya.
"Udah, yang penting Helen perhatikan postur tubuh yang benar ya, seperti kata Papa tadi. Katanya, Helena mau ikut lomba ballet bulan depan?" Mama mengelus rambut Helen dengan lembut. "Tadi Mama bikin bolu cokelat kesukaan kamu. Makan dulu, yuk!" Narita, nama wanita itu, mengambilkan dua potong bolu dari tempat makan yang dibawanya serta. Sepotong untuk Helena, potongan yang lain untuk suaminya.
Hans memandang Narita yang tengah memandangi buah hati mereka menikmati bolu yang dibuat dengan tangannya sendiri. Ia pun tersenyum
"Kamu memang pandai mengambil perhatian Helen, Na," katanya dalam hati.
Tidak butuh waktu lama, Helena melahap bolu cokelat dengan taburan keju itu. Makanan favoritnya ini menjadi pendongkrak semangatnya berlatih ballet sore hari, apalagi ini adalah kali pertama kedua orang tuanya menemani gadis berlesung pipit itu latihan di studio mininya. Biasanya, hanya Mama yang setia mendampinginya berlatih.
***
"Juara pertama lomba ballet tingkat nasional kali ini dimenangkan oleh Helena Setiawan!" demikian master of ceremony (MC) mengumumkan pemenang salah satu ajang ballet tingkat nasional, malam itu. Riuh tepuk tangan dan sorak-sorai bergemuruh di lokasi penyelenggaraan lomba. Tak terkecuali Hans dan Narita. Rasa bangga dan bahagia menyelimuti hati mereka lantaran sang buah hati memenangkan ajang bergengsi itu. Dari kejauhan keduanya memandang dan melambaikan tangan kepada Helena yang akan menerima medali dan sejumlah hadiah menarik.
"Aku tak pernah menyangka kalau Helena menjadi copy dirimu," tutur Narita kepada suaminya, tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Helena yang tengah menanti hadiah di atas podium.
"Kamu kan juga tahu, selama ini aku sudah menyembunyikan identitasku dari Helena. Nyatanya, naluriku tidak bisa diam begitu saja saat Helena membuat kesalahan-kesalahan kecil untuk mimpi yang ia bangun."
"Kamu ingin Helena mengikuti jejakmu?" Narita menatap suaminya dengan ekspresi wajah datar.
"Aku membebaskan dia menjadi apa pun yang diinginkan. Mau jadi balerina, boleh. Mau jadi dokter, silakan. Mau jadi presenter televisi, ayo aja. Selama itu baik, mengapa tidak?" Hans tersenyum. "Kamu trauma, Sayang?" Narita tak menjawab. Ia kembali memandang anak perempuannya dari kejauhan.
"Itu masa laluku. Aku yakin, Helena jauh lebih baik karena dia memiliki seorang Mama yang selalu mendukungnya. Yang bisa melakukan peran itu hanya kamu." Hans merangkul istrinya dengan hangat. Namun, Narita melepaskan tangan Hans yang menggantung di pundaknya dan memandang pria yang sudah sebelas tahun tahun menikahinya itu.
"Kamu perlu mengerti satu hal. Mencintai seorang balerina sepertimu harus membayar harga mahal, mengeluarkan energi yang cukup besar, dengan resiko yang sangat tinggi."
"Tetapi hanya kamu yang setia mendampingiku hingga kini, Sayang, meski kamu bukan balerina sepertiku," Hans memotong pembicaraan. Sesudah menyampaikan hal tersebut, wanita yang berprofesi sebagai penulis lepas itu meninggalkan suaminya. Kemudian menyambut Helena yang semangat berlarian ke arahnya sembari membawa banyak hadiah di dalam pelukan tangannya dengan sukacita
"Mama, Helena menang!"
"Selamat ya, sayang, Mama bangga padamu." Pelukan hangat sepasang Ibu dan anak itu menjadi pemandangan yang mengharukan dan membahagiakan bagi siapa pun yang melihatnya. Dari kejauhan, Hans memandang kedua perempuan yang dikasihinya itu dengan makna mendalam.
"Terima kasih sudah menjadi Mama yang selalu mendukung buah hatiku dan mimpi-mimpinya, Narita," gumam pria yang hobi memasak itu dalam hati.
***
Sebulan berlalu dari lomba ballet anak tingkat nasional. Seperti biasa, sore itu Narita menemani Helena berlatih di studio mini di rumah. Narita memainkan musik klasik, sedangkan Helena menari ballet mengikuti irama musik. Jemari-jemari lentik Narita di atas piano yang menghasilkan alunan nada yang harmonis membuat Helena tidak menyadari bahwa jiwa sang ibunda tidak berada di sana. Mungkin usia Helena memang terlalu dini untuk mengetahui bahwa Mamanya sedang menerawang jauh ke kenangannya di masa lalu.
Narita muda yang saat itu masih berusia 24 tahun itu menyadari, tidak mudah mudah untuk mendampingi Hansel Lukita Setiawan. Hans yang kala itu berusia 32 tahun memang populer. Bukan karena profesinya sebagai pemilik restoran Jepang yang cukup terkenal di Jakarta, melainkan lantaran bakatnya sebagai seorang balerina. Bermacam-macam prestasi di dunia gerak tubuh itu sudah pernah dikantonginya. Sudah bisa dipastikan, ia juga dikelilingi banyak wanita cantik di bidang yang sama. Belum lagi para fans yang terkadang berulah cukup gila.
Butuh waktu sekitar dua tahun bagi Narita meyakinkan dirinya sendiri untuk mendampingi Hans seumur hidup. Sempat mengalami pertentangan dari kedua orang tua Hans karena Narita kelihatan tidak ada apa-apanya dibandingkan beberapa wanita yang pernah dikencaninya, Hans berusaha meluluhkan hati perempuan berambut sebahu itu.
Dalam hati, sebenarnya Narita tidak membutuhkan banyak pembuktian dari Hans. Yang diharapkannya hanyalah Hans meninggalkan dunia yang abu-abu itu. Ada perasaan tidak rela ketika pasangannya harus sering berhadapan dengan wanita-wanita lain saat latihan bersama di studio. Namun, ego itu ditepisnya. Di sisi lain, ia juga ingin pria yang dicintainya itu berkembang sesuai talenta dan passion yang dimiliki.
"Mencintai seorang balerina sepertimu harus membayar harga mahal, dengan minimnya intensitas pertemuan dibandingkan jadwal latihan, juga menahan kesabaran karena melihatmu yang harus berkomunikasi dengan balerina wanita. Sementara, resiko berakhirnya hubungan ini sudah siap menanti di depan mata, kalau kita meneruskannya."
"Percayalah padaku, Ta, aku akan menyelesaikan semuanya sebelum kita menikah."
Hans menepati janjinya. Ia meninggalkan dunia ballet, tepat sebulan sebelum pernikahannya dengan Narita. Ia memilih fokus mengelola usaha kulinernya dan menjalin kerjasama dengan sejumlah klien. Narita cukup bisa bernafas lega.
Namun ketakutannya muncul kembali sejak Hans tiba-tiba mengajari beberapa hal penting kepada buah hatinya, jelang lomba ballet anak tingkat nasional.
"Ma," seru Helena membuyarkan lamunannya. Narita menghentikan gerak jemarinya.
"Ya, sayang?"
"Mulai minggu depan Helena nggak mau les ballet lagi sama Miss Prita. Helena mau belajar ballet sama Papa aja ya? Nanti tetap Mama yang main piano biar Mama bisa temani Helena terus. Boleh ya, Ma?" Narita tersenyum mendengar permintaan gadis kecilnya itu.
Bandung, 5 Agustus 2016
Luana Yunaneva