Dulu sewaktu masih menjadi murid sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), saya sering mempertanyakan hal tersebut. Soalnya ketika saya membaca novel atau komik, pun menonton film, suasana dan pokok bahasannya tidak jauh-jauh dari lingkungan SMA. Segerombolan anak muda yang tampak gaul abis, suka nongkrong ke sana ke mari, main ke sekolah lain, lengkap dengan kisah asmaranya. Sempat terpikir, ah mungkin ini tergantung bacaan dan filmnya. Kebetulan, film dan buku konsumsiku saat itu berlatar kisah anak-anak SMA, meski tidak semuanya.
Tidak lama, ayah memberikan kado berupa kaset VCD karaoke dari Anggun Cipta Sasmi ketika saya berulang tahun. Saya yang suka menyanyi pun senang dengan hadiah itu karena menambah koleksi lagu rock favorit. Kebetulan saat itu, saya belum memiliki koleksi VCD Anggun yang termasuk lady rocker pada masanya. Salah satu lagu yang menarik berjudul "Anak Putih Abu-Abu". Membaca judulnya saja, bisa mendorong imajinasi kita. Ah, pasti lagu ini mengisahkan pergaulan anak SMA. Berhubung saya tidak menemukan lirik lagunya di Google, saya tuliskan untuk Anda supaya bisa membayangkan jalan pikiran saya. Mau sambil mendengarkan lagunya? Boleh.
Akrabnya suasana gembira di sepanjang jalan
Sesuka ke mana tujuan selalu bersama
Bercanda dan tertawa bisik penuh arti
Bergosip asmara antara teman sekelas
Naik bis kota pergi ke pusat pertokoan
Di tangga plaza pasang aksi cari sensasi
Reff:
Hari-hari yang ceria ku puas menikmati
melupakan kejenuhan dan problema di rumah
Dari balik dinding sekolah terungkap banyak kisah
Berjuta kenangan yang manis merona di lamunan
Bergosip asmara antara teman sekelas
Naik bis kota pergi ke pusat pertokoan
Di tangga plaza pasang aksi cari sensasi
Anak putih abu-abu, anak zaman yang galau
Beremosi di jalanan, resah di keramaian
Anak putih abu-abu, itulah kau dan aku
Gejolakmu, gelisahku, menghias langit senja
Saat hari pertama menduduki bangku SMA, saya teringat lagu ini. Terbesit pemikiran, kira-kira bayangan saya tentang dunia anak putih abu-abu selama ini, benar tidak ya?
Tiga tahun menjajaki sekolah yang mulai menerapkan penjurusan tersebut, membuat saya menyadari bahwa saya tidak hidup di drama yang sering digambar beragam novel dan film. Saya harus menerima kenyataan bahwa di titik inilah saya harus mulai menentukan arah masa depan. Saya harus mengetahui benar di mana minat saya, bidang eksak, sosial, atau bahasa? Saya juga perlu mencari tahu potensi-potensi lain yang harus dikembangkan sebelum benar-benar lepas. Lepas di sini maksudnya adalah memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bekerja, atau menikah. What?? Menikah?? Ya, sebagian orang di kota asal saya masih ada yang berpikir untuk menikahkan anaknya selepas SMA, terutama anak perempuan. Bersyukur sekali, kedua orang tua saya tidak memikirkan hal tersebut. Mereka menginginkan anak-anaknya menempuh pendidikan tinggi, kemudian meraih mimpi melalui profesi yang digeluti, lalu menikah.
Kembali ke masa SMA. Keputusan mengambil penjurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) menuntut saya menjadi orang yang serius dengan banyaknya pekerjaan rumah (PR) dan ulangan. Sekolah yang menerapkan sistem full day juga tidak memberikan banyak waktu untuk saya beristirahat dan bermain. Hari Sabtu saja, saya (terpaksa) mengikuti les di kelas tiga untuk persiapan ujian akhir nasional (UAN).
Meski begitu, saya tetap bersyukur. Di tengah keseriusan itu, saya masih memiliki teman-teman dekat yang asyik diajak berbagi. Tidak hanya bertukar pikiran dan ilmu eksak, tetapi juga berbagi kisah kehidupan. Saya juga masih bisa menyalurkan hobi menyanyi dan memainkan alat musik dengan bergabung dengan band kelas dan band bersama teman-teman dari SMA lain.
Meninggalkan catatan akhir sekolah, saya pun melanjutkan hidup dengan berkuliah selama empat tahun di luar kota, kemudian bekerja di kota yang berbeda. Secuil pengalaman ini membuat saya belajar banyak hal. Mengapa saya bilang 'secuil'? Karena saya menyadari, pengalaman ini hanya hempasan debu. Saya baru berada di titik ini, sementara banyak orang bahkan sudah makan asam-garam terutama mereka yang sudah senior.
Dari sini, saya melihat bahwa teman-teman khususnya para sahabat semasa SMA memiliki tingkat kedekatan dan solidaritas tinggi. Mengapa demikian?
Pertama, teman-teman SMA selalu mengadakan pertemuan dalam kurun waktu tertentu.Â
Kedua, masa SMA memberikan kita kesempatan untuk menemukan jati diri dan menjadi diri sendiri.Â
Kita bebas mengekspresikan apa yang menjadi minat dan bakat, tanpa takut mendapat cibiran. Semua style yang sedang tren pada zamannya, tentu sudah pernah dirasakan bersama sahabat. Rasa malu atau segan tidak kita rasakan, karena kita percaya bahwa bagaimana pun teman-teman tetap bisa menerima kita apa adanya.
Saat duduk di kelas tiga SMA, saya sempat merasa terdampar berada di kelas eksakta. Bukan karena tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas hitungan, melainkan lantaran saya merasakan jiwa yang sebenarnya di bahasa. Sayangnya, sekolah tidak membuka kelas bahasa. Yang ada hanyalah kelas eksakta dan sosial. Beruntung, teman-teman dekat tidak menguncilkan saya tetapi saling mendukung.
Kerjasama berbagi wawasan ini sangat menguntungkan. Simbiosis mutualisme ini membuat kami tidak perlu khawatir dengan bidang-bidang yang dianggap sulit. Ketika saya tidak mampu pelajaran A, ada sahabat yang bisa membantu. Ketika sahabat menyerah dengan materi B, saya bisa menolong dengan kemampuan yang dimiliki. Serunya kegiatan semacam ini pun menjadi bahan obrolan dan canda ketika kami reuni di kemudian hari.
Ketiga, kesetiaan para sahabat semasa SMA tidak diragukan lagi.
Bagi saya, tidak ada yang kebetulan ketika Tuhan menaruh kita berada di lingkungan tertentu dan menjalani kehidupan dalam kurun waktu tertentu di sana. Saya bersyukur dengan masa SMA yang pernah saya lewati. Mengenal teman-teman dengan berbagai karakter dan keunikan lain, membuat saya belajar banyak memahami perbedaan. Keberadaan sahabat SMA yang setia menanti kedatangan saya dari luar kota, membuat saya rindu untuk pulang ke kampung halaman demi saling bertukar cerita.
Bandung, 25 Mei 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, kemudian ditulis di blog pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H