Kembali ke masa SMA. Keputusan mengambil penjurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) menuntut saya menjadi orang yang serius dengan banyaknya pekerjaan rumah (PR) dan ulangan. Sekolah yang menerapkan sistem full day juga tidak memberikan banyak waktu untuk saya beristirahat dan bermain. Hari Sabtu saja, saya (terpaksa) mengikuti les di kelas tiga untuk persiapan ujian akhir nasional (UAN).
Meski begitu, saya tetap bersyukur. Di tengah keseriusan itu, saya masih memiliki teman-teman dekat yang asyik diajak berbagi. Tidak hanya bertukar pikiran dan ilmu eksak, tetapi juga berbagi kisah kehidupan. Saya juga masih bisa menyalurkan hobi menyanyi dan memainkan alat musik dengan bergabung dengan band kelas dan band bersama teman-teman dari SMA lain.
Meninggalkan catatan akhir sekolah, saya pun melanjutkan hidup dengan berkuliah selama empat tahun di luar kota, kemudian bekerja di kota yang berbeda. Secuil pengalaman ini membuat saya belajar banyak hal. Mengapa saya bilang 'secuil'? Karena saya menyadari, pengalaman ini hanya hempasan debu. Saya baru berada di titik ini, sementara banyak orang bahkan sudah makan asam-garam terutama mereka yang sudah senior.
Dari sini, saya melihat bahwa teman-teman khususnya para sahabat semasa SMA memiliki tingkat kedekatan dan solidaritas tinggi. Mengapa demikian?
Pertama, teman-teman SMA selalu mengadakan pertemuan dalam kurun waktu tertentu.Â
Kedua, masa SMA memberikan kita kesempatan untuk menemukan jati diri dan menjadi diri sendiri.Â
Kita bebas mengekspresikan apa yang menjadi minat dan bakat, tanpa takut mendapat cibiran. Semua style yang sedang tren pada zamannya, tentu sudah pernah dirasakan bersama sahabat. Rasa malu atau segan tidak kita rasakan, karena kita percaya bahwa bagaimana pun teman-teman tetap bisa menerima kita apa adanya.
Saat duduk di kelas tiga SMA, saya sempat merasa terdampar berada di kelas eksakta. Bukan karena tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas hitungan, melainkan lantaran saya merasakan jiwa yang sebenarnya di bahasa. Sayangnya, sekolah tidak membuka kelas bahasa. Yang ada hanyalah kelas eksakta dan sosial. Beruntung, teman-teman dekat tidak menguncilkan saya tetapi saling mendukung.
Kerjasama berbagi wawasan ini sangat menguntungkan. Simbiosis mutualisme ini membuat kami tidak perlu khawatir dengan bidang-bidang yang dianggap sulit. Ketika saya tidak mampu pelajaran A, ada sahabat yang bisa membantu. Ketika sahabat menyerah dengan materi B, saya bisa menolong dengan kemampuan yang dimiliki. Serunya kegiatan semacam ini pun menjadi bahan obrolan dan canda ketika kami reuni di kemudian hari.
Ketiga, kesetiaan para sahabat semasa SMA tidak diragukan lagi.