Dari balik dinding sekolah terungkap banyak kisah
Berjuta kenangan yang manis merona di lamunan
Bergosip asmara antara teman sekelas
Naik bis kota pergi ke pusat pertokoan
Di tangga plaza pasang aksi cari sensasi
Anak putih abu-abu, anak zaman yang galau
Beremosi di jalanan, resah di keramaian
Anak putih abu-abu, itulah kau dan aku
Gejolakmu, gelisahku, menghias langit senja
Saat hari pertama menduduki bangku SMA, saya teringat lagu ini. Terbesit pemikiran, kira-kira bayangan saya tentang dunia anak putih abu-abu selama ini, benar tidak ya?
Tiga tahun menjajaki sekolah yang mulai menerapkan penjurusan tersebut, membuat saya menyadari bahwa saya tidak hidup di drama yang sering digambar beragam novel dan film. Saya harus menerima kenyataan bahwa di titik inilah saya harus mulai menentukan arah masa depan. Saya harus mengetahui benar di mana minat saya, bidang eksak, sosial, atau bahasa? Saya juga perlu mencari tahu potensi-potensi lain yang harus dikembangkan sebelum benar-benar lepas. Lepas di sini maksudnya adalah memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bekerja, atau menikah. What?? Menikah?? Ya, sebagian orang di kota asal saya masih ada yang berpikir untuk menikahkan anaknya selepas SMA, terutama anak perempuan. Bersyukur sekali, kedua orang tua saya tidak memikirkan hal tersebut. Mereka menginginkan anak-anaknya menempuh pendidikan tinggi, kemudian meraih mimpi melalui profesi yang digeluti, lalu menikah.