[caption caption="Ilustrasi Diary (sumber: http://img14.deviantart.net/db34/i/2008/090/5/a/my_diary_by_creamania.jpg)"][/caption]
Dear, Diary
Nggak terasa dua bulan sudah aku berada di sebuah komunitas. Aku semakin akrab dengan para anggotanya. Ada yang baik hati, ada yang seru, ada yang mulai kelihatan nyebelin, ada yang pendiam, ada yang pecicilan alias banyak tingkat, dan masih banyak lagi. Bagiku, warna-warni itu sangat indah dan aku sangat bersyukur bisa mengenal mereka semua.
Sosok yang tadinya kukira pendiam dan nggak bersahabat, kini justru menjadi salah satu orang yang dekat denganku. Kak Davin berusaha mengajakku ketika komunitas ini menggelar acara-acara tertentu, seperti bazar maupun nonton bareng. Nggak terlalu istimewa karena dia hanya mengajakku meramaikan kegiatan internal. Nggak pernah sekalipun dia mengajakku jalan berdua, apalagi candle light dinner seperti film-film drama di televisi. Nggak koq. Tenang aja, Dear.
Beberapa kali pemuda tinggi itu mengajakku terlibat dalam acara komunitass maupun pelatihan menulis buku yang ia lakukan, membuat kami sering berkomunikasi via ponsel. Minimal tiga hari sekali. Kuakui, kami nggak pernah janjian bertemu di luar kedua agenda itu tadi. Aku pun maklum karena dia memang orang yang cukup sibuk. Selain menjadi penulis buku, ia juga mengajar public speaking di salah satu sekolah kepribadian.
Menyukainya? Hmmmm, kurasa terlalu cepat untuk mengakui perasaan itu dech, Dear. Aku adalah tipe perempuan yang butuh cukup banyak waktu untuk menyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar-benar menyukai seseorang. Ini baru tahap menyukai, belum menginjak fase mencintai. Ini dikarenakan cinta memiliki makna yang lebih mendalam dibanding sekadar menyukai. Pengorbanan yang dilakukan pun harus lebih besar tentunya. Sudahlah, terlalu cepat kalau kau memaksaku mengatakan bahwa aku menyukai Kak Davin.
Tapi memang kuakui, dia adalah lelaki yang baik dan memiliki prinsip. Dia berbeda dengan para lelaki yang kukenal sebelumnya.
Beberapa waktu yang lalu ketika tidak ada murid yang hadir saat pelatihan menulis buku, ia bercerita banyak hal kepadaku. Mungkin karena hanya ada kami berdua, ia lebih leluasa membagikan pengalaman hidupnya selama ini.
Sekitar empat tahun lalu, ia meninggalkan kota kelahirannya ini untuk menjadi pengajar di daerah terpencil di luar pulau. Menjadi sukarelawan di bidang pendidikan, katanya, nggak mudah. Ada banyak sekali tantangan yang ia hadapi, mulai masalah transportasi, fasilitas umum, kebersihan, hingga birokrasi. Semuanya sangat sulit.
“Lalu kenapa Kak Davin mau pergi ke sana? Bukankan di sini lebih enak ya?”
“Iya, memang. Tapi zona nyaman nggak akan membuatku berkembang, Syl,” jawabnya tenang.
“Kenapa gitu, Kak?”
“Kamu tahu kenapa aku mau pergi ke sana? Aku kasihan melihat anak-anak di daerah terpencil yang nggak bisa senyaman kita. Anak-anak sekolah di sini bisa membeli seragam, sepatu, atau tas sekolah baru setiap tahun, itu sudah bagus! Sedangkan mereka? Boro-boro beli seragam, Syl, punya niat untuk sekolah pun nggak. Jadi aku belajar dari nol untuk membujuk mereka bersekolah. Aku nggak peduli, mereka harus belajar meski tanpa seragam, sepatu, dan tas sekolah.”
Pernyataan Kak Davin itu membuatku luluh lantak seketika itu juga. Bukan luluh kena rayu sih karena memang ia nggak sedang membujukku sih melainkan semacam trenyuh. Aku bertanya dalam hati, “Koq bisa ya ada orang yang berpikir seperti itu? Dia rela mengorbankan dirinya sendiri untuk kemajuan orang lain.” Tapi nyatanya, ada kan?
Astagaaaaa, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
By the way, belakangan ini diary-ku koq isinya tentang Kak Davin ya? Ada apakah gerangan? Tidaaaaaakkkkkkk!!!!
Bandung, 13 April 2016
Luana Yunaneva
[caption caption="Event My Diary (sumber: Kompasiana)"]
P.s: Baca karya peserta lain di Akun Fiksiana Community: Inilah Hasil Karya Peserta Event My Diary.
Silakan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H