Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi Perguruan tinggi dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri. Keahlian ilmu seperti itu ternyata "tak pernah" dan "tak perlu" diajarkan Perguruan tinggi. Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.Â
Kekhawatiran Jim Clifton barangkali "sangat berguna" untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi dalam perubahan-perubahan alam dan kehidupan manusia di masa depan.
Siapkah kita
"Siap memasuki" dan atau  "Siap menyambut revolusi industri.", itulah tema yang lagi viral di dunia pendidikan tinggi kekinian. Mulai dari orasi ilmiah para guru besar, topik bahasan seminar dan penelitian sampai sampai pada brosur kampus. Tema ini lari manis dikampanyekan. Benarkah pendidikan tinggi kita sudah siap menyambut revolusi industri? Bila melihat realita pendidikan tinggi kita (kurikulum, tenaga pengajar, sarana dan fasilitas pendidikan), masih jauh dari kata SIAP. Tapi apapun itu, tema tetaplah tema untuk sekedar penyemangat dan atau bahkan sekedar pencitraan semata. Walau bagaimanapun saya tetap mengapresiasi usaha dan kerja keras pemerintah dan perguruan tinggi memperisiapkan diri menghadapi era revolusi industri 4.0.
Pertanyaan yang mendasar adalah mampukah Pendidikan tinggi kita beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0?Â
Jika dunia industri tengah dihadapkan pada tantangan era generasi keempat (4.0), maka berbeda halnya dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang saat ini masih bergelut dengan ragam tantangan di era generasi ketiganya (3.0). Kondisi ini ditandai dengan tuntutan akan peningkatan kualitas pembelajaran dan meninggalkan pola kebijakan lama yang sekadar berkutat pada masalah pemerataan akses serta pemenuhan sarana prasarana pendidikan.
Perubahan pola kebijakan yang berorientasi pada kualitas pembelajaran ini selaras dengan tuntutan tentang apa dan bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia sebagai media penyiapan sumber daya manusia yang siap terlibat dalam tantangan Revolusi Industri 4.0 tersebut. Pertanyaan yang pasti muncul adalah, "Siapkah kita memenuhi tuntutan sekaligus menghadapi tantangan revolusi industri 4.0?" Beberapa hal mengenai sampai di mana pendidikan kita dan persiapan apa yang diperlukan, saya coba urai satu persatu di bawah ini.
1. Kurikulum
Penyelarasan pembelajaran dalam tataran praktik yang disesuaikan pada konstruk kurikulum yang telah ada menjadi fokus pertama dalam penyelesaian 'pekerjaan rumah' pemerintah dalam bidang pendidikan. Kebijakan Kurikulum  harus mengelaborasi kemampuan peserta didik pada dimensi pedagogik, kecakapan hidup, kemampuan hidup bersama (kolaborasi), dan berpikir kritis dan kreatif. Ini yang kemudian disinggung pada awal tulisan, yaitu pengedepanan 'soft skills' dan 'transversal skills', keterampilan hidup, dan keterampilan yang secara kasat tidak terkait dengan bidang pekerjaan dan akademis tertentu. Namun, hal itu bermanfaat luas pada banyak situasi pekerjaan layaknya kemampuan berpikir kritis dan inovatif, keterampilan interpersonal, warga negara yang berwawasan global, dan literasi terhadap media dan informasi yang ada.
Banyak kajian mengemukakan bahwa implementasi kurikulum di lapangan mengalami degradasi yang keluar konteks dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan peserta didik pada pemahaman ilmu dalam konteks praktik hidup dan keseharian (kompetensi keterampilan hidup), namun hanya berkisar pada target pencapaian kompetensi peserta didik yang digambarkan pada nilai-nilai akademik semata. Artinya, implementasi kurikulum di lapangan mengalami degradasi yang keluar konteks dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan peserta didik tersebut pada pemahaman ilmu dalam konteks praktik hidup dan keseharian.
2. Metode Belajar