Setelah cerita ke Mbak Okina tentang peristiwa dan trauma yang pernah dialami Cha di sekolah 3 tahun lalu, saya jadi mendapat pencerahan baru. Bahwa selama ini ternyata sayalah yang lebih banyak mengaitkan berbagai kejadian dengan peristiwa traumatik itu (padahal anaknya alhamdulillah sudah baik-baik saja). Akibatnya saya jadi emosi dan lebih sering berpikir dengan mengerdilkan kemampuannya. Hik..Â
Mbak Oki menyarankan saya tuk lebih bersyukur dan menerima kondisi anak saat ini. Lalu saya pun berbicara dengan diri sendiri.
"Ah iya, kalo mau terus berkubang kayak kemaren ya usahanya memang begitu-begitu aja. Tapi tujuanmu cerita kan, agar jadi lebih baik tho." Airmata saya sedikit menetes.Â
"Bosan kan, begitu terus? Asal ada sesuatu, dikaitkan ke sana. Terus kesel lagi, menyalahkan keadaan lagi. Kalo mau lebih baik, memang kudu berubah kan ya." Saya mengangguk.
"Sarannya Mbak Oki udah oke tuh." Lalu saya pun teride tuk bertanya ke Cha.Â
Gimana dengan peristiwa kelas 1 dulu, Cha? Ah, ya udah, biarin aja, jawabnya.
Sekarang udah seneng di sekolah? Iya.
Hoo, tuh kan, betul kata Mbak Oki. Anaknya baik-baik saja.
Saya tarik napas. "Yuk, buka lembaran baru. Bersyukur pernah menjalankan homeschooling di usia awal dan TK-nya dengan senang. Bersyukur ada kejadian tidak menyenangkan waktu Cha kelas 1. Ini salah satu cara Allah menunjukkan jalan terbaik-Nya. Bersyukur Cha sekarang menikmati hari-harinya di sekolah negeri." Saya kembali mengangguk.
Setelah itu rasanya memang jauuh lebih lega. Saya pun dapat melihat lebih cerah kebaikan-kebaikan yang ada di diri anak 10 tahun itu. Seperti ketika saya kirim WA ke Mbak Oki di malam hari, Cha menegur dengan lembut. "Udah, jangan ganggu Tante Oki dulu. Kan katanya Tante Oki mau sekolah lagi."
Aiih, saya terpana dengarnya. Baik sekali dia sampai bisa memikirkan Tante Oki.