Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hilang Marwah Pengadilan Negeri Batam Sebab Putusan Hakim Praperadilan Tak Penuhi Rasa Keadilan

10 November 2023   22:00 Diperbarui: 11 November 2023   08:41 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Hakim,

Saking cintanya kami akan kebenaran hukum,

Kita kirim bunga ini, 

Artinya kita monitor sidang pra peradilan ini,

Rakyat-rakyat yang cinta akan keadilan dan penegakan hukum.

Hakim Praperadilan,

Jangan takut rakyat bersamamu,

dari 

Masyarakat melayu.

Pesan untuk hakim praperadilan kasus Rempang dari masyarakat Melayu yang dipajang sehari sebelum putusan, 5 November 2023.
Pesan untuk hakim praperadilan kasus Rempang dari masyarakat Melayu yang dipajang sehari sebelum putusan, 5 November 2023.

Tulisan-tulisan tersebut dapat dibaca di depan gedung Pengadilan Negeri (PN) Batam, Jalan Engku Haji Tua, Batam Center, dalam wujud karangan bunga, sejak 5 November 2023 menjelang magrib. Tulisan-tulisan itu pula menjadi penanda bahwa esok hari, 6 November 2023, adalah hari pembacaan putusan sidang praperadilan untuk menguji status 30 orang tersangka peristiwa penangkapan 11 September 2023 karena unjuk rasa di depan Gedung  Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Hari pembacaan putusan persidangan praperadilan, 6 November 2023, siang hari, papan bunga berisi tulisan-tulisan atas nama rakyat dan masyarakat melayu itu sudah hilang, serta berganti menjadi:

Karena cinta kami kepada masyarakat pemerhati sidang,

Ingat jangan anarkis ya,

Kalau tidak ingin masuk penjara,

Salam damai.

Pesan yang dipajang di depan PN Batam pada hari H putusan praperadilan kasus Rempang, 6 November 2023.
Pesan yang dipajang di depan PN Batam pada hari H putusan praperadilan kasus Rempang, 6 November 2023.

Bagi siapapun,

Jangan coba menghasut masyarakat dengan isu-isu sesat,

Karena provokasi bisa dipidana,

Salam sehat.

Pesan berisi ancaman pidana bagi provokator masyarakat di depan PN Batam, jelang putusan praperadilan kasus Rempang, 6 November 2023.
Pesan berisi ancaman pidana bagi provokator masyarakat di depan PN Batam, jelang putusan praperadilan kasus Rempang, 6 November 2023.

Kalimat-kalimat tersebut seolah membalas pesan soal rakyat yang memonitor persidangan dan kalimat penyemangat untuk hakim yang menyidangkan perkara praperadilan tersebut dengan nada mengancam agar tidak anarkis serta tidak menghasut masyarakat dengan isu sesat kalau tidak ingin dipidana dan masuk penjara. Tidak ada identitas pengirim kedua pesan lewat karangan bunga itu.

Menjelang pukul 14.00 WIB, sesuai jadwal sidang pembacaan putusan praperadilan yang diinformasikan sebelumnya oleh hakim tunggal Yudith Wirawan, puluhan ibu-ibu mulai memadati gedung PN Batam. Sebagian besar dari mereka berpakaian hitam. Mereka bercengkrama di depan tiga ruang sidang yang menjadi tempat putusan praperadilan dibacakan: Purwoto Gandasubrata, Ali Said, dan Mudjono. Ketiga ruang sidang masih dalam kondisi tertutup rapat kala itu. Belum tampak petugas pengadilan maupun Hakim Edy Sameaputty di ruang sidang Purwoto Gandasubrata, petugas maupun Hakim Yudith Wirawan di ruang sidang Ali Said, atau petugas maupun Hakim Sapri Tarigan di ruang sidang Mudjono. Pihak penggugat yang diwakili oleh kuasa hukum pemohon serta pihak tergugat dari pihak Polresta Barelang pun belum terlihat. 

Selang sejam kemudian, seratusan ibu-ibu dan bapak-bapak mulai memadati gedung PN Batam, mereka berkumpul di depan ruang sidang sembari melantunkan sholawat beberapa kali, lalu menengadahkan kedua tangan sambil berdoa.

Ratusan ibu-ibu dari kampung tua melayu Rempang-Galang berkumpul di PN Batam meminta keadilan dari hakim praperadilan kasus Rempang.
Ratusan ibu-ibu dari kampung tua melayu Rempang-Galang berkumpul di PN Batam meminta keadilan dari hakim praperadilan kasus Rempang.

Semoga hakimnya adil,

Kami hanya memperjuangkan hak kami,

Itu yang kami bela,

Semoga perjuangan kita diridhoi Allah,

Semoga tahanan kami dibebaskan,

Mereka pejuang kampung,

Mereka bukan penjahat,

Mereka melakukan sesuatu karena mereka membela tanah ulayat,

dan mempertahankan tanah bangsa Melayu,

Allahu Akbar!

Sembari berdiri dan berdoa bersama, mereka menjejerkan diri di sepanjang tiga ruang sidang putusan praperadilan, sebagian lagi berdiri di belakangnya membentuk tiga hingga empat barisan. Beberapa ibu barisan terdepan sempat meneteskan air mata, lalu diusap oleh tisu. 

Bebaskan anak-anak kami,

Anak-anak kami adalah pejuang,

Anak-anak kami tidak bersalah,

Wahai hakim yang bijaksana,

Mereka membela tanah air,

Di situlah ari-ari kami tertanam,

Kami mohon bebaskan lah anak-anak kami,

Allahu Akbar!

  

Sebelum riuh ramai gedung PN Batam oleh kehadiran ratusan orang yang sebagian besar merupakan masyarakat melayu kampung tua Pulau Rempang-Galang, Kepulauan Riau, pagi harinya, 6 November 2023, PN Batam melepas kepergian seorang hakim yang bertugas di PN Batam sejak Februari 2021 bernama Nanang Herjunanto. Menurut berita yang beredar, ia meninggal di kamar hotel Lovina Inn, sebuah hotel berbintang dua di kawasan Batam Center, dan ditemukan pada Minggu malam, 5 November 2023. 

Mashuri Effendie, Ketua PN Batam yang memimpin pelepasan kepergian Nanang mengatakan bahwa pada Jumat malam, 3 November 2023, Nanang masih ada kirim berita tentang praperadilan Rempang di grup internal hakim, namun ia tidak menghadiri acara pernikahan anak seorang pegawai PN Batam pada hari Sabtu, 4 November 2023. Pihak keluarga Nanang sempat meminta bantuan mengecek keberadaan Nanang di kamar hotel hari Minggu, 5 November 2023 karena tidak bisa dihubungi, kemudian malam harinya, Nanang ditemukan meninggal di dalam kamar saat polisi membuka paksa pintu kamarnya. 

Meskipun bukan hakim yang menyidangkan perkara praperadilan yang menguji sah atau tidak penetapan status 30 tersangka, Nanang Herjunanto yang membagikan berita praperadilan di grup internal hakim sesungguhnya memiliki beberapa persinggungan yang cukup erat dengan ketiga hakim praperadilan yang menyidangkan kasus ini. Persinggungan pertama, Nanang merupakan senior Hakim Edy Sameaputty, Sapri Tarigan, dan Yudith Wirawan di PN Batam. Nanang bertugas di PN Batam sejak Februari 2021, sedangkan Edy, Sapri, dan Yudith, ketiganya satu angkatan di PN Batam, dan mulai bertugas pada bulan November 2021 hingga kini. 

Persinggungan lainnya berada di PN Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum bertugas di PN Batam, Nanang Herjunanto, Edy Sameaputty, dan Yudith Wirawan sama-sama pernah bertugas di PN Wates, hanya saja Nanang merupakan senior Edy dan Yudith. Nanang bertugas di PN Wates pada 2012-2015, sedangkan Edy dan Yudith sama-sama bertugas di PN Wates selama enam tahun, sejak 2016 hingga November 2021.

Satu persinggungan lagi terletak di PN Depok, tempat Sapri Tarigan mulai meniti karirnya sebagai hakim. Sapri ditempatkan di PN Depok saat masih menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Hakim tahun 2007-2008, sementara Nanang Herjunanto sempat bertugas di PN Depok selama tujuh tahun, sejak 2015 hingga Februari 2021, sebelum ia dipindahkan ke PN Batam. Mereka berdua lalu bertemu di PN Batam, di mana saat Sapri mulai bertugas di sana tepat dua tahun lalu, Nanang sudah bertugas di PN Batam selang hampir setahun.

Peta keterkaitan hakim praperadilan kasus Rempang dengan hakim alm. Nanang Herjunanto yang ditemukan meninggal sehari sebelum pembacaan putusan.
Peta keterkaitan hakim praperadilan kasus Rempang dengan hakim alm. Nanang Herjunanto yang ditemukan meninggal sehari sebelum pembacaan putusan.

Melalui persinggungan-persinggungan tersebut, dapat dikatakan bahwa Sapri, Yudith, Edy, dan almarhum Nanang sudah saling mengenal sebelum mereka ditempatkan di PN Batam. Setelah dua tahun lebih mereka berempat bertugas bersama di PN Batam, sebenarnya Edy, Sapri, dan Yudith akan berpisah dengan Nanang karena ia dipromosikan menjadi Wakil Ketua PN Amuntai, Kalimantan Selatan. Ironisnya, pada akhirnya ketiga hakim praperadilan kasus Rempang ini tetap berpisah dengan Nanang meskipun Nanang tidak jadi pindah tugas ke PN Amuntai, karena Nanang telah meninggal dunia. 

Sebelum bertugas di PN Batam, Nanang Herjunanto sempat dipercaya sebagai juru bicara PN Depok. Sebagai humas pengadilan, ia cukup dikenal dan sering dicari wartawan, misalnya saat PN Depok menangani gugatan perdata korban biro perjalanan umroh First Travel tahun 2019, maupun saat Raffi Ahmad, seorang tokoh publik dan influencer, digugat di PN Depok karena menghadiri pesta tanpa masker sehingga melanggar sejumlah protokol kesehatan Covid-19, padahal baru saja mendapatkan jatah vaksin Covid-19 gratis dari Istana Negara.  

***

Sampul depan permohonan praperadilan pengujian status tersangka Thomas yang dibacakan pada 31 Oktober 2023 oleh kuasa hukumnya. 
Sampul depan permohonan praperadilan pengujian status tersangka Thomas yang dibacakan pada 31 Oktober 2023 oleh kuasa hukumnya. 

"Bahwa Pemohon dalam perkara a quo pada awalnya ingin ke Pasar Mitra Raya untuk bermaksud menjual hasil taninya yaitu cabe. Kemudian karena Pemohon ingin tahu dengan berita-berita yang yang ada di grup WhatsApp Petani bahwa akan ada demo tanggal 11 September 2023 di Kantor BP Batam, akhirnya mendengar kabar tersebut Pemohon pergi ke Kantor BP Batam untuk melihat apakah benar ada demo tersebut, sehingga dari awal tidak ada yang menyuruh. Pemohon hanya ingin tahu apakah benar informasi yang didengarnya."

Cuplikan permohonan praperadilan Thomas yang ditangkap polisi dan dituduh melawan petugas yang sah atau pengrusakan barang saat demo 11 September 2023
Cuplikan permohonan praperadilan Thomas yang ditangkap polisi dan dituduh melawan petugas yang sah atau pengrusakan barang saat demo 11 September 2023

Kalimat tersebut dibacakan oleh salah seorang kuasa hukum Thomas bin Subandi, Pemohon praperadilan sah atau tidaknya penetapan dirinya sebagai tersangka, Selasa, 31 Oktober 2023, di Pengadilan Negeri Batam. Sidang praperadilan untuk menguji status tersangka Thomas tersebut berlangsung selama tujuh hari kalender dengan agenda akhir pembacaan putusan pada 6 November 2023. 

Thomas merupakan seorang petani berusia 50 tahun yang tinggal di Pulau Setokok, Kepulauan Riau (Kepri). Pulau Setokok yang terkenal dengan keindahan pasir putihnya, berada di Jembatan Tiga Barelang, berjarak sekitar 25 kilometer dari Pasar Mitra Raya, Batam Center, tempat Thomas menjual hasil taninya. Jembatan Barelang sendiri merupakan rangkaian enam jembatan sepanjang 2.264 meter yang menghubungkan tiga pulau besar di Kepri, yaitu Batam, Rempang, dan Galang, beserta beberapa pulau kecil lainnya, termasuk Pulau Setokok, tempat tinggal Thomas. 

Senin, 11 September 2023, usai dari Pasar Mitra Raya, Thomas singgah ke Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang berjarak lima kilometer dari Pasar Mitra Raya. Sesampainya di BP Batam, pusat lokasi unjuk rasa, tengah hari, ia mendengar himbauan dari polisi agar para demonstran bubar. Tidak beberapa lama kemudian, polisi menembakkan gas air mata yang menyebabkan mata Thomas perih. Ia pun berlari menghindari gas air mata, lalu ditarik oleh petugas kepolisian dan diamankan di kantor BP Batam. Dari BP Batam, Thomas dibawa ke Kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Barelang untuk dilakukan pemeriksaan hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada hari itu juga.

Peristiwa penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka tersebut tidak hanya dialami oleh Thomas saja, melainkan juga kedua puluh sembilan orang lelaki lainnya yang serempak mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka mereka. Polisi melakukan ketiga jenis upaya paksa tersebut terhadap 30 orang ini karena dianggap melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah (Pasal 212-214 KUHP), dalam hal ini aparat keamanan yang sedang mengamankan unjuk rasa. Selain itu, mereka juga dianggap telah menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang (Pasal 170 KUHP), maksudnya diduga telah memukul dan melakukan pengeroyokan terhadap petugas kepolisian serta merusak kantor BP Batam saat melakukan unjuk rasa. 

Unjuk rasa di kantor BP Batam tersebut dilakukan masyarakat dari pagi hingga siang hari pada 11 September 2023. Dari berbagai penjuru Kepri, ribuan orang datang dan berkumpul di kantor BP Batam, berorasi meminta agar Pemerintah Daerah Batam membebaskan tujuh warga Pulau Rempang-Galang yang sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka atas peristiwa penghadangan petugas yang akan melakukan pematokan lahan Kampung Tua Rempang-Galang dalam rangka pembangunan proyek berskala nasional Rempang Eco-City, 7 September 2023. Selain itu, lebih penting lagi, mereka juga menuntut Kepala BP Batam yang juga Walikota Batam, Muhammad Rudi, untuk tidak merelokasi warga Rempang-Galang yang terkena dampak dari pembangunan proyek tersebut.

Menurut pengakuan salah seorang tersangka atau pemohon praperadilan, Aminnudin, 28 tahun, orasi tersebut sudah ditanggapi oleh Rudi selaku Kepala BP Batam. Akan tetapi, massa aksi tidak terima dengan apa yang disampaikan oleh Rudi, sehingga meminta Rudi untuk keluar lagi menemui massa dan memenuhi tuntutan massa, yaitu membebaskan tersangka yang ditahan serta tidak merelokasi atau menggeser warga Kampung Tua Pulau Rempang-Galang. Setelah 30 menit menunggu, namun Rudi tidak keluar lagi, sehingga massa mulai menggoyang-goyangkan pagar kantor BP Batam. 

Melihat situasi mulai tidak kondusif, aparat keamanan pun membubarkan massa aksi. Sebagian dari mereka patuh dan menuju kantor Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri yang berjarak 1,5 kilometer dari BP Batam yang merupakan titik kumpul aksi, namun sebagian lagi tetap berada di kantor BP Batam. Kerusuhan pun tidak dapat dihindari, tiba-tiba ada yang melempar batu, potongan besi, air mineral kemasan gelas berisi pasir ke kantor BP Batam dan ke arah petugas yang berjaga dan mengawal aksi, hingga memukul dan menendang petugas berpakaian bebas yang ternyata merupakan anggota kepolisian. Kaca-kaca kantor BP Batam pecah, betonnya roboh dan pagarnya hancur, petugas kepolisian pun mengalami luka berat. Aparat keamanan mengatasi hal tersebut dengan menembakkan gas air mata, sehingga warga pun berlarian untuk menghindarinya yang kemudian diikuti dengan penangkapan warga oleh aparat kepolisian.

***

Hairol, 42 tahun, seorang pemohon praperadilan atas penangkapan, penahanan, dan penetapan status tersangkanya, berangkat dari Tanjung Pinang ke Batam menggunakan kapal yang berjarak 1,5 jam perjalanan untuk ikut aksi solidaritas di BP Batam, 11 September 2023. Tiba di Pelabuhan Punggur, Batam, sekitar pukul 11.30 WIB, ia pun langsung menuju BP Batam bersama warga lainnya menggunakan bus. Tidak beberapa lama setelah ia tiba di lokasi, situasi mulai tidak kondusif. Ia melihat seorang petugas keamanan dilempari batu oleh orang yang tak dikenalnya. Hairol pun  mencoba melerai orang tersebut, namun orang itu marah dan berkata kepada Hairol, "Engkau bukan orang Melayu ya?" Hairol menjawab, "orang Melayu." Karena aksi di BP Batam sudah tidak kondusif, Hairol pun pergi ke gedung LAM untuk beristirahat. Di gedung LAM ia melihat keributan, lalu tiba-tiba ia diamankan oleh petugas kepolisian dan dibawa ke kantor polisi.

Tak berbeda jauh dengan Hairol, Herman, 53 tahun, pemohon praperadilan lainnya, juga tiba di BP Batam pada tengah hari, 11 September 2023, untuk ikut aksi solidaritas. Dari rumahnya di Pulau Petong, Pulau Abang, ia harus menempuh perjalanan laut sekitar 45 menit menuju Pulau Galang, akses darat terdekat dari Pulau Petong, untuk selanjutnya menempuh perjalanan darat sekitar dua jam dari Jembatan Enam Barelang, Pulau Galang, hingga tiba di BP Batam, titik lokasi aksi. Karena sudah tengah hari, ia pun berdiri di barisan belakang dengan jarak sekitar 50 meter dari massa aksi. Tak lama kemudian, setelah mendengar petugas meminta massa aksi bubar, Herman pun pergi membeli rokok di kaki lima depan Pelabuhan Batam Center, sekitar 5 menit berjalan kaki dari BP Batam. Sembari menunggu teman untuk pulang ke Pulau Petong kembali, tiba-tiba ia terkena tembakan gas air mata yang menyebabkan mata perih. Refleks ia berlari menghindari gas air mata, namun ditangkap oleh petugas dan dibawa ke Polresta Barelang.   

Hal serupa dialami pula oleh Misranto, 30 tahun, perwakilan warga Sungai Buluh, salah satu Kampung Tua terdampak proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang, yang juga ikut aksi solidaritas di BP Batam, 11 September 2023. Ia berangkat bersama warga Kampung Tua Rempang lainnya menggunakan mobil pick up dengan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Jembatan Empat Barelang, jembatan terdekat dari tempat tinggalnya. Selesai makan siang di depan Alfamart dekat BP Batam, ia berjalan kaki ke kantor LAM untuk pulang bersama teman-temannya, namun tiba-tiba terkena tembakan gas air mata sehingga ia pun sontak berlari menjauh. Saat tiba di perumahan dekat Tugu Selamat Datang Batam, Misranto ditangkap polisi.

Hairol, Herman, dan Misranto merupakan sebagian warga yang ikut aksi solidaritas 11 September 2023 yang ditangkap, ditahan, dan disematkan status tersangka karena dianggap melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah atau dianggap telah menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, padahal yang mereka lakukan hanyalah membeli rokok, makan siang, bahkan mencegah orang yang hendak memukul petugas. Setelah ditangkap, pada hari yang sama, mereka ditahan di Polresta Barelang.  

Tak berakhir sampai di situ. Evi Maharani, istri Hairol; Sitinur, istri Herman; dan Juliana, keponakan Misranto, saat bersaksi di depan sidang praperadilan untuk menguji penetapan status tersangka suami-suami dan paman mereka, 2 November 2023, mengungkapkan sejumlah peristiwa pelanggaran hukum lainnya yang mereka alami. 

Sidang praperadilan mendengarkan keterangan saksi dari pemohon pada agenda pembuktian, 2 November 2023 di PN Batam
Sidang praperadilan mendengarkan keterangan saksi dari pemohon pada agenda pembuktian, 2 November 2023 di PN Batam

Juliana, Sitinur, dan Evi Maharani sama-sama mengungkapkan bahwa mereka tidak bisa langsung menemui Misranto, Herman, dan Hairol begitu mendapat kabar penangkapan dan penahanannya di kantor polisi. Juliana, keponakan Misranto mengatakan di depan Hakim Sapri Tarigan, hakim tunggal yang mengadili permohonan praperadilan Misranto, bahwa ia baru bisa menemui pamannya pada 19 September 2023, delapan hari setelah Misranto ditahan dan dijadikan tersangka. Sementara itu, Sitinur mengatakan kepada Hakim Edy Sameaputty bahwa ia baru bisa menemui suaminya, Herman, pada 26 September 2023, 15 hari setelah Herman berada di balik jeruji. Selama masa tunggu tersebut, Juliana dan Sitinur harus menghadapi situasi ketidakpastian apakah keluarga mereka baik-baik saja di dalam tahanan, tidak mengetahui apa yang mereka butuhkan selama ditahan, apalagi soal kepastian kapan mereka akan keluar dari tahanan. Evi Maharani, istri Hairol, bahkan tidak mendapatkan jawaban dari penyidik ketika ia bertanya mengapa suaminya ditahan.    

Selain kesulitan dan ketidakpastian tersebut, peristiwa pelanggaran hukum lainnya yang harus dihadapi keluarga ketiga tersangka, yaitu terkait penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur yang seharusnya, yaitu tanpa disertai pengiriman surat penangkapan maupun surat penahanan kepada pihak keluarga, bahkan ada yang dikirim setelah permohonan praperadilan diajukan oleh tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan tersebut. 

Juliana, keponakan Misranto, mengaku menerima surat lewat pos tanggal 26 Oktober 2023, tepat seminggu setelah Misranto mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Batam lewat kuasa hukumnya, atau 45 hari pasca pamannya ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka. Dalam proses pemeriksaan di persidangan, 2 November 2023, Hakim Praperadilan Sapri Tarigan bahkan mempertanyakan mengapa Juliana tidak memastikan kepada penyidik apakah surat penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka atas nama Misranto sudah dikirimkan kepada pihak keluarga atau belum. Selain itu, Hakim Sapri juga mencecar Juliana dengan pertanyaan apakah Juliana ada bertanya kepada Misranto soal ia menerima surat penangkapan dan surat penahanan atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan Hakim Sapri Tarigan tersebut diduga bertujuan untuk memberikan penekanan bahwa seharusnya Juliana sudah mengetahui dari awal bahwa surat penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka Misranto wajib diserahkan kepada tersangka dan pihak keluarga, sekaligus menempatkan kesalahan kepada Juliana karena tidak menanyakan terkait surat-surat tersebut saat bertemu penyidik maupun Misranto.

Bukti surat penangkapan dikirim lewat pos kepada keluarga Liswardi, pemohon praperadilan, 45 hari setelah ia ditetapkan sebagai tersangka.
Bukti surat penangkapan dikirim lewat pos kepada keluarga Liswardi, pemohon praperadilan, 45 hari setelah ia ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara itu, Sitinur dan Evi Maharani, istri Herman dan Hairol, mengatakan bahwa sampai saat mereka memberikan kesaksian di depan persidangan praperadilan, 2 November 2023 atau 52 hari sejak suami-suami mereka ditangkap, ditahan, dan dijadikan tersangka, mereka masih belum menerima surat penangkapan, penahanan, maupun penetapan tersangka Herman dan Hairol. Sebagai pihak keluarga yang sewajibnya diberikan tembusan surat penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka sebagai sarana pemberian informasi bahwa suami-suami mereka sudah ditangkap, ditahan, dan dijadikan sebagai tersangka, penyidik telah melanggar ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 21 Ayat (3) KUHAP. Lebih dari itu, penyidik yang tidak memberikan surat penangkapan sama sekali atau memberikannya kepada pihak keluarga namun lewat tujuh hari sejak seseorang ditangkap, berarti tidak patuh pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013, yang berakibat pada penangkapan menjadi tidak sah. 

Penangkapan yang tidak sah memiliki konsekuensi lanjutan berupa penangkapan yang batal demi hukum, sehingga Hairol, Herman, dan Misranto sudah sepatutnya dibebaskan dari tahanan. Bukan hanya ketiga tersangka itu, penangkapan tidak sah secara hukum ini turut dialami oleh setidaknya sembilan tersangka lainnya, yaitu Liswardi karena Dodi, adiknya, baru menerima surat penangkapan pada 30 Oktober 2023; Ardiansyah karena Juliana, saudaranya, baru menerima surat penangkapan pada 29 Oktober 2023 melalui pos; Dicky Aldi karena Rina, ibunya, baru menerima surat penangkapan pada 27 Oktober 2023 melalui pos; Putra Bahari karena kakaknya, Siti Haula, baru menerima surat penangkapan 14 hari setelah Putra ditangkap; Rafi karena Ramli, bapaknya, baru menerima copyan surat penangkapan 10 hari sejak Rafi ditangkap; Fitto Dwiky Sandiva karena Miradifa, ibunya, baru tanda tangan berita acara penangkapan pada 23 Oktober 2023, namun belum menerima tembusan surat penangkapan hingga kini; M. Yusuf karena Mariani, keponakannya, tidak menerima surat penangkapan sampai sekarang; Supiandra karena Eva, istrinya, tidak menerima surat penangkapan hingga sekarang; Thomas karena Desi Romantika, istrinya, tidak menerima surat penangkapan hingga sekarang.  

***

Mengadili,

Dalam Eksepsi, 

Menolak eksepsi termohon.

Dalam Pokok Perkara,

Menolak permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya,

Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sejumlah nihil.

Hakim Edy Sameaputty membacakan putusan praperadilan di Ruang Purwoto Gandasubrata, 6 November 2023. Permohonan praperadilan ditolak seluruhnya.
Hakim Edy Sameaputty membacakan putusan praperadilan di Ruang Purwoto Gandasubrata, 6 November 2023. Permohonan praperadilan ditolak seluruhnya.

Menjelang kumandang Adzan Maghrib, 6 November 2023, Hakim Edy Sameaputty sampai pada pembacaan amar putusan praperadilan seperti dalam kalimat di atas. Amar putusan tersebut salah satunya ditujukan kepada tersangka Thomas bin Subandi, 50 tahun, yang mengajukan praperadilan dalam rangka menguji sah atau tidaknya penetapan tersangkanya. Ia dituduh melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah atau dianggap telah menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang. 

Menolak permohonan praperadilan Thomas untuk seluruhnya berarti bahwa penetapan tersangka atas nama Thomas tetap sah, yang didasarkan hakim atas dua alat bukti yang juga dianggap sah, yaitu laporan polisi Nomor LP-A/39/IX/2023/SPKT Satreskrim/Polresta Barelang/Polda Kepulauan Riau tentang dugaan tindak pidana "melawan petugas yang sedang bertugas" diterbitkan tanggal 11 September 2023 pukul 22.23 WIB, serta surat hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bhayangkara Batam. 

Khusus hasil visum, Hakim Edy Sameaputty menambahkan dalam pertimbangan putusannya, "Hasil visum yang keluar tanggal 5 Oktober 2023 hanya kesalahan pengetikan, yang penting ada permintaan visum dan sudah disahkan oleh ahli forensik." Permintaan visum dan pengesahan ahli forensik itu menjadi landasan Edy menyatakan bahwa surat hasil visum sah sehingga secara keseluruhan penetapan tersangka pun sah karena sudah memenuhi dua alat bukti yang sah, yaitu laporan polisi dan hasil visum et repertum. 

Sebaliknya, kuasa hukum pemohon Thomas, yang disampaikan dalam kesimpulan sidang praperadilan pada 3 November 2023, menyatakan bahwa hasil visum tidak sah karena baru keluar pada 5 Oktober 2023 atau 24 hari setelah Thomas ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik juga tidak memiliki alat bukti lain dalam menetapkan Thomas sebagai tersangka, yang menyebabkan penetapan tersangka tersebut menjadi tidak sah. Sebenarnya, alat bukti surat berupa hasil visum itu bisa saja tetap sah asalkan penyidik memiliki alat bukti lain untuk menjerat Thomas sebagai tersangka. 

Sesuai ketentuan KUHAP, seseorang dapat dijadikan sebagai tersangka apabila ia diduga sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti permulaan (Pasal 1 angka 14). Sementara itu, frasa bukti permulaan yang dimaksud dalam KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014). Lebih lengkap, alat bukti yang sah, yang dimuat dalam Pasal 184 KUHAP, terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 

Dengan demikian, apabila mengacu pada ketentuan KUHAP dan Putusan MK di atas, Thomas sah sebagai tersangka apabila penyidik memiliki minimal dua alat bukti yang sah. Hakim Edy Sameaputty, melalui putusannya, menyatakan bahwa penyidik sudah memiliki dua alat bukti yang sah, yaitu surat hasil visum dan laporan polisi. Visum merupakan hasil pemeriksaan terhadap korban polisi yang bertugas yang mengalami luka-luka akibat penyerangan tersangka, sedangkan laporan polisi yang dimaksud adalah keterangan dari polisi penangkap yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk laporan bahwa benar ia melakukan penangkapan terhadap Thomas dan memiliki bukti bahwa Thomas melakukan penyerangan terhadap korban.

Di sisi lain, kuasa hukum Thomas menyatakan bahwa penyidik tidak memiliki alat bukti yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti yang sah, dalam menjerat Thomas sebagai tersangka. Selain hasil visum yang baru keluar 24 hari setelah penetapan tersangka, pemeriksaan polisi penangkap sebagai saksi dilakukan antara 12-13 September 2023, kemudian saksi fakta dari Satpol PP maupun Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam diperiksa antara 15-16 September 2023, serta saksi korban diperiksa pada periode 15-19 September 2023. "Yang jadi permasalahan adalah semua saksi baru diperiksa setelah pemohon ditetapkan sebagai tersangka, yaitu 11 September 2023," kata seorang kuasa hukum tersangka. Sementara itu, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah, "jadi penetapan tersangka ini didasarkan pada alat bukti apa, karena semua saksi baru diperiksa paling cepat sehari setelah penetapan tersangka, yaitu 11 September 2023," cecar kuasa hukum Thomas lagi.  

Apabila merujuk pada bukti-bukti mengenai tanggal penyampaian keterangan saksi pelapor, saksi fakta, dan saksi korban yang disampaikan oleh termohon/penyidik pada sidang praperadilan dengan agenda pembuktian tanggal 2 November 2023, memang keterangan saksi-saksi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menetapkan Thomas sebagai tersangka karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP maupun Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. 

Alat bukti lain yang juga terungkap sepanjang sidang praperadilan kasus Rempang adalah keterangan ahli, terdiri dari ahli forensik dr. Indra Faisal, M.H., Sp.FM dan ahli pidana Dr. Alwan Hadiyanto, S.H., M.H. Akan tetapi, hampir serupa dengan pemeriksaan semua saksi, pemeriksaan terhadap kedua ahli tersebut juga dilakukan pasca Thomas ditetapkan sebagai tersangka, yaitu ahli forensik pada 23 Oktober 2023 dan ahli pidana pada 25 Oktober 2023. Kedua ahli ini bahkan baru dimintai keterangan oleh penyidik setelah tersangka Thomas, lewat kuasa hukumnya, mendaftarkan gugatan praperadilan di PN Batam guna menguji keabsahan penetapan status tersangkanya pada 19 Oktober 2023. Hal itu membuat keterangan ahli pun tidak dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk menjerat Thomas sebagai tersangka karena pemeriksaan ahli tersebut baru dilakukan 1,5 bulan setelah Thomas ditetapkan sebagai tersangka. 

Dengan demikian, dari bukti-bukti yang disampaikan di depan sidang praperadilan PN Batam dalam menguji keabsahan status tersangka para pemohon, tidak ada satupun alat bukti yang sah yang dapat menjerat para tersangka. Lebih penting lagi, fakta ini tidak hanya berlaku untuk Thomas, namun juga kedua puluh sembilan tersangka lainnya. Dengan kata lain, keputusan hakim Edy Sameaputty yang menolak praperadilan pemohon merupakan keputusan yang keliru, setidaknya berdasarkan bukti-bukti yang terungkap di persidangan, dan kekeliruan yang sama juga dilakukan oleh hakim Sapri Tarigan dan Yudith Wirawan. ***

Tim kuasa hukum 30 tersangka praperadilan menguji penetapan sah atau tidaknya tersangka di PN Batam, 31 Oktober-6 November 2023.
Tim kuasa hukum 30 tersangka praperadilan menguji penetapan sah atau tidaknya tersangka di PN Batam, 31 Oktober-6 November 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun