Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Perkampungan Tua Tak Berpenghuni, Masyarakat Rempang-Galang Tak Bisa Direlokasi Begitu Saja Demi Rempang Eco-City

21 Oktober 2023   23:59 Diperbarui: 22 Oktober 2023   01:58 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raja Ali Haji
Raja Ali Haji

Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam mempertahankan Kesultanan Melayu dari jajahan Belanda berkaitan erat pula dengan sejarah Pulau Rempang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Sultan Mahmud Riayat Syah memiliki keterlibatan pada Perang Riau I tahun 1782, dimana ia sebagai Pemimpin Kesultanan Melayu bersama Raja Haji Fisabilillah selaku Panglima Perang (Yang Dipertuan Muda) kala itu berniat menyerang Belanda yang memiliki benteng pertahanan di Melaka. Mereka bersama pasukan perang Kesultanan pun berangkat ke Melaka. Belum sampai di sana, Sultan Mahmud Riayat Syah dan pasukannya singgah dan berhenti di Linggi. Sultan Mahmud dan Raja Haji pun bersepakat bahwa Sultan tetap tinggal di Linggi untuk memperkuat pertahanan, sedangkan Raja Haji beserta pasukannya melanjutkan perjalanan ke Melaka. Raja Haji Fisabilillah gugur di Teluk Ketapang saat menyerang benteng pertahanan Belanda di Melaka.   

12-6533a16bedff76063e2f9412.jpeg
12-6533a16bedff76063e2f9412.jpeg

Jejak persinggahan Sultan Mahmud Riayat Syah di Linggi untuk membentuk benteng pertahanan Kesultanan Melayu (Lingga-Riau-Johor-Pahang) menyebar ke warga Pulau Rempang dan Galang hingga kini. Sebagian besar tetua bahkan anak cucu dan penghuni Perkampungan Tua Pulau Rempang dan Galang mengetahui bahwa dulunya Pulau Rempang dan Galang ini merupakan benteng pertahanan dari serangan Belanda sewaktu menjadi bagian dari Kesultanan Melayu. "Di sini dulu benteng pertahanan Kesultanan Melayu, kampung pertama namanya Lubuk Nenek," kata Sani, budayawan Melayu dari Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, yang merupakan keturunan keempat dari Suku Galang, salah satu suku asli Perkampungan Tua, sambil bermain bersama cucunya berumur 1,5 tahun, saat dijumpai di rumahnya, Minggu, 8 Oktober 2023.   

Sani juga menyayangkan sikap pemerintah yang sedang berupaya untuk menjual Pulau Rempang kepada pengusaha asing saat ini. "Lucunya, dulu rumah ini pemberian dari BP Batam karena jasa Bapak sebagai budayawan, sekarang malah rumah ini mau digusur, oleh BP Batam juga," ujar istri Sani sambil tertawa miris. "Sebenarnya rumah ini kalau mau diambil, ya ambil lah, yang penting buat kami makam nenek moyang itu. Nenek saya, orang tua dari nenek saya, semua makamnya ada di sini. Itu yang sebenarnya kita pertahankan," tambah istri Sani, yang sudah mendiami Pulau Rempang bersama nenek dan buyutnya sejak kecil.   

Seorang tetua Perkampungan Tua lainnya, Gerisman Ahmad dari Kampung Pantai Melayu, menuturkan bahwa nenek moyang di Perkampungan Tua sudah mendiami Pulau Rempang dan Galang sejak Kerajaan Melayu Islam Riau-Lingga diperintah Sultan Abdurrahman Muazzamsyah tahun 1884. Lalu pada awal 1945, Perkampungan Tua di Pulau Rempang dan Galang berada di bawah Kewedanaan (Wilayah) Tanjungpinang (Pusat Kerajaan Riau-Lingga), kemudian tahun 1960-1979 Perkampungan Tua Rempang dan Galang masuk ke dalam Kecamatan Bintan Selatan, barulah tahun 1980 Kecamatan Bintan Selatan dimekarkan menjadi Kecamatan Galang di Pulau Rempang. "Pemerintah tidak menempatkan Kelurahan Sembulang di Pulau Galang karena pada tahun 1980 Pulau Galang digunakan sebagai penampung pengungsian Vietnam dan Kamboja," kata Gerisman Ahmad yang juga pernah menjadi kepala desa di Perkampungan Tua.   

Dedi Arman, Peneliti Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau, sempat menuliskan silsilah Kesultanan Melayu pada tahun 2019 bersama dua rekannya. Buku berjudul Sultan Lingga -- Riau I, Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832) itu menyebutkan bahwa Raja Abdurrahman Muazzam Syah--nenek moyang yang mendiami Pulau Rempang menurut Gerisman--merupakan salah seorang keturunan asli Kesultanan Melayu yang memimpin pada periode 1884-1911. Ia juga merupakan keturunan kelima dari Sultan Mahmud Riayat Syah, yang menurut manuskrip Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji, Sultan Mahmud lah yang berperan memindahkan ibukota Kesultanan Melayu dari Johor ke Lingga--cikal bakal Pulau Rempang--pada 24 Juli 1787.   

Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, 1998 dan Kisah Perang Riau karya Rendra Setyadiharja dkk, 2022
Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, 1998 dan Kisah Perang Riau karya Rendra Setyadiharja dkk, 2022

Seorang budayawan lain bernama Abdul Malik, juga Akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, seperti dikutip Tempo, 1 Oktober 2023, bahkan mengisahkan bahwa keterlibatan warga Pulau Rempang sebagai prajurit yang mempertahankan Kesultanan Melayu dari serangan penjajah, sudah ada jauh sebelum masa kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. "Prajurit setia Kesultanan Melayu ini dikenal dengan sebutan para bajak laut, istilah negatif yang disematkan penjajah Portugis, Inggris, dan Belanda kepada prajurit Melayu kala itu," kata Abdul Malik. Mereka sebenarnya adalah rakyat biasa yang terdiri atas orang Melayu (Orang Laut), Orang Lanun, dan Suku Laut yang menghuni wilayah Kepulauan Riau, seperti Kepulauan Bintan, Bulang, Rempang, Galang, pulau-pulau di seluruh Batam, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, dan Pulau Tujuh, juga pesisir, selat, dan pulau di laut lepas Sumatera Timur, Semenanjung Malaysia, hingga Singapura. 

"Mereka dikenal luas sejak era Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7 hingga Abad ke-11), Kesultanan Melaka (Abad ke-15), hingga Kesultanan Riau-Lingga (Abad ke-18 hingga Abad ke-19). Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacaukan musuh kerajaan, terutama Portugis, Belanda, dan Inggris, serta sekutunya," ujar Abdul Malik lagi. Ia menuturkan peran utama dari prajurit bajak laut ini adalah memandu dan mengawal kapal-kapal pedagang yang berbisnis secara resmi ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Melayu. "Dalam situasi normal, bukan perang, mereka bekerja layaknya rakyat biasa. Mereka menjadi nelayan, pedagang antar pulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk), pemandu pelayaran, pembuat senjata, serta pembuat perahu atau kapal tradisional." 

Lewat tuturan Sani, Gerisman Ahmad, Dedi Arman, maupun Abdul Malik, setidaknya diperoleh gambaran bahwa Pulau Rempang dan Galang sebagai Perkampungan Tua memang sudah didiami jauh sebelum Indonesia merdeka, setidaknya abad ke-18. Meskipun kesaksian mereka berbeda satu sama lain mengenai siapa tokoh yang membersamai nenek moyang mereka dalam menjaga benteng pertahanan Pulau Rempang dan Galang dari serangan penjajah, setidaknya mereka sudah membuktikan bahwa Pulau Rempang dan Galang bukan lah Perkampungan Tua tak berpenghuni sehingga bisa dengan gampang direlokasi demi alasan pengembangan proyek Rempang Eco-City. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun