Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Perkampungan Tua Tak Berpenghuni, Masyarakat Rempang-Galang Tak Bisa Direlokasi Begitu Saja Demi Rempang Eco-City

21 Oktober 2023   23:59 Diperbarui: 22 Oktober 2023   01:58 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di samping itu, melalui Keppres Nomor 28 Tahun 1992 ini, Presiden Soeharto menetapkan pula Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone). Adapun yang dimaksud dengan Kawasan Berikat tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat yang memperbarui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone), yaitu suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. 

Kawasan Berikat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 ini merupakan salah satu wujud dari Tempat Penimbunan Berikat, yaitu suatu bangunan, tempat, atau kawasan yang mendapatkan perlakuan khusus di bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan. Jadi, secara sederhana, setelah Batam ditetapkan menjadi kawasan industri pada 1973, tahun 1992 Pulau Rempang dan Galang ditetapkan pula sebagai daerah industri (kawasan berikat) yang memiliki implikasi lanjutan pada izin dan status kepemilikan maupun pengusahaan tanah atau kawasan.      

Mengenai izin kepemilikan maupun pengusahaan tanah atau kawasan tersebut, setidaknya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone) sudah mengatur bahwa kewenangan pemberian penetapan kawasan berikat berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Pasal 4), yang kemudian pengusahaannya diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero (Pasal 5). Lebih lanjut, tanah yang digunakan sebagai lokasi usaha disewa dari pengusaha kawasan berikat (BUMN), termasuk izin usaha dan izin kegiatannya diberikan pula oleh pengusaha atas nama Menteri/Pimpinan Instansi yang bersangkutan (Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1)). Sedangkan izin mendirikan bangunan dan izin gangguan bagi perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan berikat diberikan oleh pengusaha kawasan berikat (BUMN) atas nama Kepala Daerah yang bersangkutan (Pasal 9 ayat (2)). 

Kemudian, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 sedikit mengubah pengaturan di atas, terutama mengenai pemberian status kawasan berikat dari Menteri Dalam Negeri menjadi Presiden atas usul Menteri Perindustrian setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan (Pasal 4a), dengan penegasan kepemilikan kawasan tidak beralih karena pemberian status tersebut (Pasal 4b). Sementara itu, pengelolaannya masih diselenggarakan oleh BUMN (Pasal 4c) dengan tambahan klausul mengenai pengaturan, pembinaan, dan pengembangan kawasan berikat oleh Menteri Perindustrian dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan (Pasal 4d). 

Di samping soal pemberian dan pengelolaan kawasan berikat, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 mengatur pula perubahan pada status tanah yang digunakan sebagai lokasi usaha kawasan berikat, yaitu dapat disewa atau dibeli dari pemilik kawasan industri (Pasal 8). Pemilik kawasan industri dalam hal ini adalah negara, yang tergambar melalui pengaturan mengenai pemberian status kawasan berikat dilakukan langsung oleh Presiden (Pasal 4a). Artinya, beleid Nomor 14 Tahun 1990 ini lebih gamblang mengatur bahwa tanah kawasan berikat dapat dimiliki oleh pengusaha dengan cara membeli dari negara. 

Lalu yang mungkin belum banyak diketahui publik adalah perubahan pemberi izin penyelenggara kawasan berikat (pengusaha) dari Presiden atas usul Menteri Perindustrian setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 menjadi Menteri Keuangan sebagai penetap kawasan berikat sekaligus pemberi izin penyelenggara kawasan berikat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 7). Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 ini mencabut pengaturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone). Dengan demikian, pada peraturan pemerintah terbaru tentang tempat penimbunan berikat tersebut, Menteri Keuangan yang semula hanya memberikan pertimbangan dalam pemberian izin penyelenggaraan kawasan berikat menjadi berwewenang penuh dalam memberikan izin penyelenggaraan kawasan berikat.

Di samping perubahan mengenai pemberi izin kawasan berikat, tak kalah penting adalah perubahan pihak-pihak yang dapat menjadi penyelenggara atau pengelola kawasan berikat. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 mendefinisikan golongan penyelenggara terdiri dari Perseroan Terbatas, koperasi yang berbentuk badan hukum, atau yayasan yang memiliki, menguasai, mengelola, dan menyediakan sarana dan prasarana guna keperluan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha di Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 1 Angka 6). Kemudian, dicantumkan pula yang dimaksud dengan pengusaha, yaitu Perseroan Terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan usaha di Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 1 Angka 7). Dengan kata lain, terdapat perluasan pihak yang dapat menjadi penyelenggara maupun pengusaha kawasan berikat, yang semula hanya BUMN seperti tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone), kini Perseoran Terbatas (PT) maupun koperasi pun bisa menjadi penyelenggara atau pengusaha di kawasan berikat.  

Persoalan yang kemudian muncul yaitu mengenai nasib Perkampungan Tua yang sudah berdiri beserta masyarakat tempatannya, yang menurut Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 sudah ada saat Otorita Batam mulai dibangun pada tahun 1970-an. Memang sejak Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 yang menetapkan Kota Batam sebagai kawasan berikat (bonded zone) hingga enam tahun kemudian menetapkan pula Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai kawasan berikat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), sudah disinggung tentang pembebasan lahan dari hak pihak lain. Bahkan pada beleid tentang perluasan Pulau Rempang dan Galang sebagai kawasan berikat tersebut, disebutkan juga dengan jelas bahwa pelaksanaannya perlu memperhatikan penyelesaian masalah pengungsi di pulau tersebut (poin keempat) serta pengelolaan dan pengurusan tanahnya, termasuk usaha pengamanan penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (poin keenam). 

Persoalan tersebut semakin berbuntut panjang ketika tahun 1986 saat Kota Batam ditetapkan oleh Soeharto sebagai kawasan berikat, Pulau Rempang yang awalnya terdiri dari Hutan Konservasi dan Hutan Lindung perlahan berubah statusnya menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL), "tanpa ada sosialisasi dan pengecekan di lapangan," kata Gerisman Ahmad, salah satu tokoh masyarakat di Pulau Rempang yang berusia lebih dari 70 tahun, "dianggap tidak ada kampung dan penduduk," tambahnya.    

Peta Pulau Rempang mayoritas terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi (ungu) dan Kawasan Hutan Lindung (hijau)
Peta Pulau Rempang mayoritas terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi (ungu) dan Kawasan Hutan Lindung (hijau)

Sebagai informasi, penetapan Pulau Rempang sebagai Kawasan Hutan Konservasi berupa Taman Buru dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 357/Kpts-II/1986 tanggal 29 September 1986 dengan luas 16 ribu hektar. Kawasan Hutan Konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, Kawasan Hutan Konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan hutan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam), dan taman buru (Pasal 31). Taman Buru sendiri merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Sementara itu, Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun