Mohon tunggu...
Lovina HasiannaTampubolon
Lovina HasiannaTampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta yang memiliki hobi di bidang musik, saya senang melakukan pengamatan di sekitar saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Flexing pada Remaja di Era 2.0

24 Oktober 2023   02:20 Diperbarui: 2 April 2024   21:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya terus-menerus untuk mempertahankan citra kehidupan mewah dapat mendorong perilaku pengeluaran yang tidak bijak dan konsumtif. Anak remaja yang terbiasa dengan perlunya untuk mengikuti trend, mereka tetap memedulikan prilaku yang merugikan tersebut meskipun itu bisa mengakibatkan kerugian keuangan. Mereka melakukan semua itu supaya tidak tertinggal (fomo) dengan teman sebayanya.

  • Potensi bahaya keamanan

Flexing juga dapat menimbulkan risiko terancamnya keamanan. Ketika sedang memamerkan kekayaan atau lokasi di media sosial dapat meningkatkan kemungkinan perampokan. Penculikan pada remaja supaya penculik mendapatkan uang tebusan dari orang tua. Remaja yang suka flexing ini bisa saja menjadi sasaran empuk dalam kejahatan di dunia ini. Sangat bahaya sekali dan merugikan semua orang.

Maka dari itu untuk melindungi remaja dari efek negatif flexing ini, orang tua, pendidik, dan masyarakat secara keseluruhan harus memberi tahu anak-anak mereka tentang nilai sejati, kepribadian yang kuat, dan pengembangan diri yang berkelanjutan. Untuk mengatasi fenomena ini, masyarakat, orang tua, dan pendidik harus meningkatkan literasi digital dan mengajarkan remaja untuk berpikir kritis. Menyadarkan mereka akan bahaya flexing yang berlebihan dapat membuat mereka mengembangkan pola pikir yang tidak sehat tentang media sosial dan merugikan diri mereka dalam kondisi internal dan eksternal.

Dalam kesimpulannya, melakukan flexing menjadi trend yang mengasyikkan, tetapi kita harus memahami dampaknya pada kesejahteraan mental remaja. Padahal flexing dapat membawa bahaya besar. Selain meningkatkan tekanan sosial dan kompetisi yang tidak sehat, tindakan ini juga dapat menyebabkan gangguan mental, rendahnya harga diri, perilaku konsumtif yang tidak bertanggung jawab, ketidaksetaraan sosial, persepsi diri yang tidak realistis, perasaan tidak puas dengan diri sendiri, dan risiko perilaku impulsif. 

Harapan saya remaja dapat bijak dalam menggunakan media sosial, memang ketika melakukan flexing kita mendapatkan kepuasan yang membuat diri kita ingin terus melakukannya, tetapi hal tersebut justru menjadi hal yang buruk bagi kehidupan kita. Kita bisa menggunakan media sosial sebagai alternatif untuk mengembangkan bakat dan belajar dari sumber-sumber yang tepercaya. Juga diharapkan remaja dapat mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun