Mohon tunggu...
Lovina HasiannaTampubolon
Lovina HasiannaTampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta yang memiliki hobi di bidang musik, saya senang melakukan pengamatan di sekitar saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Flexing pada Remaja di Era 2.0

24 Oktober 2023   02:20 Diperbarui: 2 April 2024   21:41 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
quoteambition.com 

 

 

Kata flexing merupakan istilah yang sudah semakin akrab di telinga remaja zaman sekarang dan juga telah menjadi tren yang muncul dalam budaya popular didunia. Flexing merupakan tindakan seseorang untuk memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian dalam rangka mendapatkan pengakuan atau validasi dari masyarakat. Remaja saat ini menggunakan media sosial sebagai sarana utama untuk flexing. Seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat menjadi platform di mana orang membagikan foto atau video yang menggambarkan bagian hidup mereka. Semuanya dikemas sedemikian rupa untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari sesama pengguna, mulai dari barang mewah hingga perjalanan pergi ke luar negri.

Dalam pengamatan di kehidupan sekitar saya, ada tiga jenis orang yang suka melakukan flexing. Pertama ada remaja yang suka melakukan flexing dengan kondisi yang mendukung, maksudnya remaja yang melakukan flexing ini bisa dikatakan berada. Mereka melakukannya dengan cara memamerkan harta orang tuanya mereka seperti berswafoto dengan kendaraan atau memamerkan barang branded berkelas. Sedikit juga dari mereka melakukan hal-hal merugikan seperti membuang sesuatu yang berharga dengan sia-sia supaya mendapatkan perhatian dari masyarakat. Tetapi menurut saya tipe flexing seperti ini tidak terlalu merugikan orang lain dikarenakan memang kondisi ekonominya yang cukup dan mereka mampu untuk melakukan hal tersebut.

Kedua ada remaja yang suka melakukan flexing dengan kondisi ekonomi yang kurang tapi memaksa, maksudnya dalam kondisi ini remaja tersebut bisa dikatakan kurang mampu tetapi mereka memaksakan keadaan karna mereka merasa fomo. Remaja tersebut melakukan flexing agar diakui oleh orang lain bahwa mereka orang yang berada. Dengan memaksakan keadaan demi kepuasan sesaat banyak jalan tempuh yang mereka lakukan seperti memaksa kedua orang tua untuk membelikan barang yang mereka inginkan, menjual barang perabotan rumah tanpa sepengtahuan keluarga dan meminta pinjaman uang kepada teman dengan menggunakan kata-kata "agar silahturahmi tak terputus, bolehkah pinjam seratus?" menurut saya  flexing tipe seperti ini sangat merugikan diri dan orang sekitar, mereka melakukan segala cara demi terpuasnya hasrat validasi dari orang lain. Remaja ini ingin terlihat popular ketika memakai barang mahal atau branded.

Ketiga ada remaja yang suka melakukan flexing dengan memainkan imajinasinya atau biasa disebut halu. Remaja ini seakan akan menjadi orang yang sangat berada bermodal foto-foto yang mereka curi dari postingan orang lain. Foto-foto terserbut akan mereka upload di media sosial pribadinya seakan-akan foto tersebut asli milik mereka. Padahal realitanya tidak seperti itu. Tipe seperti ini bisa disebut penipuan karna mereka memalsukan segala sesuatu demi kepuasan mereka, demi diakui sebagai sultan. Ini sangat merugikan banyak orang seperti postingan orang lain yang dicuri dan orang yang percaya terhadap postingan yang di tambahkan di media sosialnya.

Keberadaan flexing ini semakin meresahkan. Meskipun terlihat sebagai bentuk ekspresi diri atau pencapaian, flexing dapat membawa sejumlah kerugian bagi anak remaja zaman sekarang seperti berikut ini:

  • Tekanan sosial dan rendah diri

Dalam flexing ini bisa menyebabkan anak remaja mengalami tekanan sosial. Ketika mereka melihat teman-temannya memamerkan gaya hidup mewah, Di dalam kondisi ini mereka merasa tidak cukup atau tidak sukses. Hal tersebut dapat menyebabkan kecemasan dan rasa tidak percaya diri.

  • Perbandingan yang tidak sehat

Remaja saat ini cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain, fenomena flexing ini hanya menambah ketidakseimbangan. Mereka dapat terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat jika mereka terus melihat kehidupan orang lain yang dianggap lebih baik dari dirinya.

  • Ketergantungan pada validasi eksternal

Remaja yang sering flexing mungkin terlalu bergantung pada validasi dari sumber eksternal. Mereka mungkin merasa bahwa status atau nilai mereka bergantung pada seberapa banyak pengakuan atau pujian yang mereka terima dari orang lain di media sosial. Mereka berusaha membuat citra yang bagus demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, mereka merasa senang dan puas akan hal tersebut.

  • Gaya hidup yang tidak realistis

Flexing cenderung memperlihatkan kepada orang lain hal yang baiknya saja dan hal itu sangat jauh dari kehidupan aslinya, mereka tak mau menunjukkan tantangan atau kesusahan yang mereka alami. Remaja yang sering terpapar gambaran yang tidak realistis mungkin mengembangkan harapan hidup yang tidak realistis dengan dunia aslinya.

  • Pemakaian finansial yang tidak bijak

Upaya terus-menerus untuk mempertahankan citra kehidupan mewah dapat mendorong perilaku pengeluaran yang tidak bijak dan konsumtif. Anak remaja yang terbiasa dengan perlunya untuk mengikuti trend, mereka tetap memedulikan prilaku yang merugikan tersebut meskipun itu bisa mengakibatkan kerugian keuangan. Mereka melakukan semua itu supaya tidak tertinggal (fomo) dengan teman sebayanya.

  • Potensi bahaya keamanan

Flexing juga dapat menimbulkan risiko terancamnya keamanan. Ketika sedang memamerkan kekayaan atau lokasi di media sosial dapat meningkatkan kemungkinan perampokan. Penculikan pada remaja supaya penculik mendapatkan uang tebusan dari orang tua. Remaja yang suka flexing ini bisa saja menjadi sasaran empuk dalam kejahatan di dunia ini. Sangat bahaya sekali dan merugikan semua orang.

Maka dari itu untuk melindungi remaja dari efek negatif flexing ini, orang tua, pendidik, dan masyarakat secara keseluruhan harus memberi tahu anak-anak mereka tentang nilai sejati, kepribadian yang kuat, dan pengembangan diri yang berkelanjutan. Untuk mengatasi fenomena ini, masyarakat, orang tua, dan pendidik harus meningkatkan literasi digital dan mengajarkan remaja untuk berpikir kritis. Menyadarkan mereka akan bahaya flexing yang berlebihan dapat membuat mereka mengembangkan pola pikir yang tidak sehat tentang media sosial dan merugikan diri mereka dalam kondisi internal dan eksternal.

Dalam kesimpulannya, melakukan flexing menjadi trend yang mengasyikkan, tetapi kita harus memahami dampaknya pada kesejahteraan mental remaja. Padahal flexing dapat membawa bahaya besar. Selain meningkatkan tekanan sosial dan kompetisi yang tidak sehat, tindakan ini juga dapat menyebabkan gangguan mental, rendahnya harga diri, perilaku konsumtif yang tidak bertanggung jawab, ketidaksetaraan sosial, persepsi diri yang tidak realistis, perasaan tidak puas dengan diri sendiri, dan risiko perilaku impulsif. 

Harapan saya remaja dapat bijak dalam menggunakan media sosial, memang ketika melakukan flexing kita mendapatkan kepuasan yang membuat diri kita ingin terus melakukannya, tetapi hal tersebut justru menjadi hal yang buruk bagi kehidupan kita. Kita bisa menggunakan media sosial sebagai alternatif untuk mengembangkan bakat dan belajar dari sumber-sumber yang tepercaya. Juga diharapkan remaja dapat mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun