"Mau lo apa sih?" prostesku kesal sembari memegang pipiku yang memerah.
"Cia, lo kenapa? Ledek balik tuh si Mija, " pinta Felix terlihat kesal juga.
Dengan langkah perlahan pak Erik menghampiri kursiku.
"Cia?? Oh, namamu Cia." Katanya sembari mengangguk-anggukkan lehernya lalu berjalan ke depan kelas lagi. Dia terkesan sombong dan cuek.
"Semuanya berhenti bersikap konyol. Kalian mahasiswa semester 7, tentunya sudah dewasa. So, jangan bertingkah seperti anak-anak. Baiklah, kita akan melanjutkan materi dari pak Peter mengerjakan karya ilmiah." Sahutnya sembari memegang spidol, lalu menulis di papan.
"Hmmm..lebay kali. Sok dewasa aja. Ia juga masih muda, tidak jauh beda dari kami. Hanya beda antara dosen dan mahasiswa." Batinku.
Selama mengajar, ia tampak serius dan mengabaikan gadis-gadis di sampingku yang tersenyum kagum memandanginya. Si jenius itu sepertinya disukai banyak gadis di kelas. Lalu ia meninggalkan kelas.
"Guis, almet pak Erik ketinggalan. Siapa yang mau kasih nih," seru Gladis berusaha menyodorkan almet itu pada anak-anak yang lain.
"Cia...Cia...Cia.." usul Mija. Lagi-lagi ia tidak bosan mengerjaiku.
"Apaan sih lu? Dari tadi kurang ajar banget. Lu yang antar sana!" elakku marah.
Sayangnya, seisi kelas malah riuh menyuruhku mengembalikannya. Dengan kesal dan berat hati aku berjalan keluar. Terlihat pak Erik sedang berjalan menuju kantin kampus.