Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suara Miryam, Suara Sang Liyan

14 Juli 2023   18:22 Diperbarui: 14 Juli 2023   18:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Membaca suara Miryam dalam Bilangan 12:1-16)

Namaku Miryam. Seringkali dilabeli "Saudara perempuan Musa dan atau Harun", pemimpin orang Israel melarikan diri dari perbudakan di Mesir. 

Kukira namaku cukup dikenal, di antara sedikitnya nama perempuan yang disebutkan dalam Alktab. Beberapa kisahku dicatat oleh para penulis Perjanjian Lama. Catatan-catatan yang sangat singkat. Peranku disebut beragam. Sebenarnya, kemunculanku dalam Alkitab dimulai ketika aku masih sangat muda. Aku menjaga, mengawasi, bahkan menyelamakan Musa, adikku yang lahir di masa ancaman pembunuhan bayi laki-laki Ibrani oleh Firaun Mesir. Dengan berani aku mendatangi salah satu putri Firaun yang menemukan bayi Musa di dalam peti di tengah Teberau, dan menawarkan untuk mencari inang penyusu baginya. Sehingga ibuku dapat terus merawat Musa, adikku, hingga saatnya ia diserahkan kepada Putri Firaun. Sayangnya, namaku tak disebut. 

Ada yang menyebutku nabiah, nabi perempuan. Sebuah jabatan  yang tidak main-main. Ada yang menceritakan peranku sebagai yang memimpin para perempuan Ibrani menyanyi dan menari memuji Tuhan setelah melewati Teberau keluar dari Mesir. Aku diakui sebagai pemimpin dengan batasan pada kelompok tertentu, kaum perempuan. Tapi, Nabi Mikha menyebut peranku setara dengan Musa dan Harun, diutus Tuhan untuk memimpin orang Israel (Mikha 6:4 BIMK). 

Hari ini, kalian membaca kisahku yang kurang menyenangkan, kukira. Saat aku, bersama Harun memprotes tindakan Musa menikahi seorang perempuan Kush. Penulis Yahwis yang menceritakan kisah ini membungkam suaraku. Mereka menggambarkanku sebagai yang menggugat otoritas Musa, merongrong kepemimpinan Musa. Kurasa, banyak yang mencelaku atas kisah ini. Mungkin kalian juga ikut tidak senang denganku. Berani-beraninya, aku, bukan siapa-siapa, seorang perempuan pula, mengkritisi pemimpin sebesar Musa. Berkata keras kepada Musa yang disebut berhati sangat lembut. 

Mengapa sih, aku mesti protes kalau ada orang menikah? Jumpa, jatuh cinta, pacaran, lalu menikah. Bangun kehidupan rumah tangga. Kalau soal itu aku tak punya hak untuk protes. Itu kehidupan pribadi saudaraku. Tapi kalian tidak lupa kan, kalau Musa adalah seorang laki-laki beristri. Zipora, adik iparku, sangat kusayangi. Ia telah meninggalkan keluarga Midiannya dan ikut bersama dengan Musa, bersama dengan kami, dalam perjalanan menuju tanah terjanji. Dan aku tidak rela ia dikhianati oleh adikku.

Lagipula, pada masa itu pernikahan bukan cuma urusan orang yang  jatuh cinta semata.  Ada pernikahan yang dilakukan karena kepentingan politik. Salah satu cara untuk membangun relasi antar bangsa. Seperti yang dilakukan oleh raja Salomo. Makanya ia punya banyak istri. Pernikahan itu adalah pernikahan politik, nah, Musa juga melakukan hal itu. Pernikahnnya dengan gadis Kush itu sangat mungkin terkait aliansi perkawinan dengan kaum elit Kush sebagai bagian dari gerakan anti Mesir. Perkawinan itu berkaitan erat dengan politik dan otoritas Musa. 

Aku juga tidak suka dengan Mesir. Aku dan saudara-saudaraku hidup dalam perbudakan di Mesir. Tapi pernikahan untuk kepentingan politik? Aku protes dong. Bagaimana bisa seorang perempuan dibohongi dan dimanfaatkan seperti itu? Sebagai sesama perempuan, aku merasakan sakit hatinya Zipora dan ketidakberdayaan gadis Kush itu. Ada ketidakadilan. 

Ada tindakan yang tidak benar. Dan aku harus bersuara. Bukankah aku seorang nabiah?  Tugasku adalah berbicara, menyampaikan suara Tuhan. Kekuasaan tidak boleh dipakai dengan semena-mena untuk kepentingan pribadi dan kelompok lalu merugikan orang lain.

Apalagi jika seseorang mengklaim kuasa itu diberikan Tuhan yang memilihnya, ia mestinya tidak menyelewengkan kuasa itu. Kuasa diberikan untuk dipakai demi membawa kebaikan bagi banyak orang, bukan untuk dimanfaatkan bagi kesenangan dan prestise. 

Sayangnya, atas nama Tuhan penulis memberi cap pendosa kepadaku. Aku dihukum. Kena kusta. Sungguh, tak mudah bagiku menerima hal ini. Bukan hanya aku yang menyampaikan protes itu, Harun juga melakukan hal yang sama denganku, dan yang kami sampaikan bukanlah fitnah. Tapi mengapa aku dihukum? Aku, seorang! Mengapa Harun tidak ikut dihukum? Dan Musa? Penulis Yahwis mengukuhkannya sebagai seorang pemimpin yang tak mungkin salah. Bahkan setelah mereka mengakui protes kami atas tindakan Musa adalah sebuah kebenaran. 

Aku bertanya dalam diam. Mengapa? Apakah karena aku tak punya kuasa? karena aku seorang perempuan? Aku berada di dalam bayang-bayang dominasi patriarkhi!

Peranku sebagai pemimpin, sebagai nabiah, seolah ingin dihapus. Yang dilabelkan padaku adalah seorang perempuan pesakitan, ambisius, yang dengan lancang menentang orang pilihan Tuhan. Aku dikucilkan dari komunitas. Aku seperti dijadikan  tanda awas, contoh, peringatan bagi kaum perempuan dan siapa saja yang berani menegur ketidakbenaran dan ketidakadilan, melawan pemimpin yang merasa punya kuasa: berhati-hatilah! Konsekuensinya tidak mudah .

Akh perempuan... dunia kita tak ramah. Perjuangan kita tak mudah. Menjadi kritis dan berani kerap dicap tabu. Perempuan mesti tunduk, perempuan mesti nurut. Karena Puan itu lemah, dan tak cakap. Mesti dihadiahi kuota 30% agar dapat menjejak dunia politik atau mengecap kemewahan jabatan termasuk di dalam gereja. Terlalu lama kita dibuat lupa bahwa kemampuan memimpin tak pilih jenis kelamin. Mampu dan ahli adalah makna tersirat dalam nama perEMPUan. 

Kita abai pada peran perempuan pemimpin spiritual di Lembah Poso atau jejak Tina ngata di tanah Kulawi. Pada para Ina dan Tina yang bisa duduk bersama tuama sebagai totua adat dalam Baruga dan mengambil keputusan. Seperti Siga dan tali Bonto bersanding.

Terlalu lama kita dibuat malu untuk duduk, berdiri, dan berjalan di depan. Karena perempuan tak boleh menonjolkan diri dan harus menunggu diberi kesempatan. Sampai-sampai kita lupa pada potensi dalam diri dan hak yang sama. 

Terlalu sering kita dipaksa menjadi sama dan seragam. Pilihan politik, pandangan, dan sikap yang berbeda seringkali dilihat sebagai ancaman, harus diberantas. Lalu kita terbiasa menolak dan mengucilkan yang berbeda. Satu suara itu baik, lalu kehilangan keindahan paduan suara. Terlalu lama kita dibuat takut berbicara. Diancam bungkam dengan nama Tuhan. Lalu tak sanggup mendengar suara. Suara kaum lemah, minoritas, sang liyan. Suara-suara yang berbeda, suara-suara yang tak terucap. Suara kita. 

Tapi aku, Miryam, telah dibentuk menjadi seorang perempuan yang berani bertindak dan tak takut menanggung konsekuensi. Kepekaan membuatku gelisah pada ketidakbenaran dan ketidakadilan. aku tahu aku harus berbicara, dan aku berbicara. Apapun resikonya. Karena diam tak selalu emas. Aku tahu aku harus bertindak, dan aku bertindak dalam keberanian. 

Perempuan...PERUATI... marilah bersamaku. Jangan pernah lupa: tajam menatap, peka merasakan, berani bertindak! 

(Refleksi pembuka Seminar Nasional PERUATI. Palu, 25 Mei 2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun