Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suara Miryam, Suara Sang Liyan

14 Juli 2023   18:22 Diperbarui: 14 Juli 2023   18:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku bertanya dalam diam. Mengapa? Apakah karena aku tak punya kuasa? karena aku seorang perempuan? Aku berada di dalam bayang-bayang dominasi patriarkhi!

Peranku sebagai pemimpin, sebagai nabiah, seolah ingin dihapus. Yang dilabelkan padaku adalah seorang perempuan pesakitan, ambisius, yang dengan lancang menentang orang pilihan Tuhan. Aku dikucilkan dari komunitas. Aku seperti dijadikan  tanda awas, contoh, peringatan bagi kaum perempuan dan siapa saja yang berani menegur ketidakbenaran dan ketidakadilan, melawan pemimpin yang merasa punya kuasa: berhati-hatilah! Konsekuensinya tidak mudah .

Akh perempuan... dunia kita tak ramah. Perjuangan kita tak mudah. Menjadi kritis dan berani kerap dicap tabu. Perempuan mesti tunduk, perempuan mesti nurut. Karena Puan itu lemah, dan tak cakap. Mesti dihadiahi kuota 30% agar dapat menjejak dunia politik atau mengecap kemewahan jabatan termasuk di dalam gereja. Terlalu lama kita dibuat lupa bahwa kemampuan memimpin tak pilih jenis kelamin. Mampu dan ahli adalah makna tersirat dalam nama perEMPUan. 

Kita abai pada peran perempuan pemimpin spiritual di Lembah Poso atau jejak Tina ngata di tanah Kulawi. Pada para Ina dan Tina yang bisa duduk bersama tuama sebagai totua adat dalam Baruga dan mengambil keputusan. Seperti Siga dan tali Bonto bersanding.

Terlalu lama kita dibuat malu untuk duduk, berdiri, dan berjalan di depan. Karena perempuan tak boleh menonjolkan diri dan harus menunggu diberi kesempatan. Sampai-sampai kita lupa pada potensi dalam diri dan hak yang sama. 

Terlalu sering kita dipaksa menjadi sama dan seragam. Pilihan politik, pandangan, dan sikap yang berbeda seringkali dilihat sebagai ancaman, harus diberantas. Lalu kita terbiasa menolak dan mengucilkan yang berbeda. Satu suara itu baik, lalu kehilangan keindahan paduan suara. Terlalu lama kita dibuat takut berbicara. Diancam bungkam dengan nama Tuhan. Lalu tak sanggup mendengar suara. Suara kaum lemah, minoritas, sang liyan. Suara-suara yang berbeda, suara-suara yang tak terucap. Suara kita. 

Tapi aku, Miryam, telah dibentuk menjadi seorang perempuan yang berani bertindak dan tak takut menanggung konsekuensi. Kepekaan membuatku gelisah pada ketidakbenaran dan ketidakadilan. aku tahu aku harus berbicara, dan aku berbicara. Apapun resikonya. Karena diam tak selalu emas. Aku tahu aku harus bertindak, dan aku bertindak dalam keberanian. 

Perempuan...PERUATI... marilah bersamaku. Jangan pernah lupa: tajam menatap, peka merasakan, berani bertindak! 

(Refleksi pembuka Seminar Nasional PERUATI. Palu, 25 Mei 2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun