Mohon tunggu...
Louis Onesangkin
Louis Onesangkin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta #upnyk2023 #hiasteng2023 #kampusiana2023

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Kemanusiaan di Myanmar: Bagaimana Nasib Rohingya di Tengah Kekerasan Militer?

3 Desember 2023   11:00 Diperbarui: 3 Desember 2023   18:50 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Myanmar adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang memiliki populasi sekitar 54 juta jiwa, yang terdiri dari 135 kelompok etnis yang berbeda-beda. Myanmar memiliki sejarah panjang konflik politik dan etnis, yang dimulai sejak masa penjajahan Inggris, kemerdekaan, kudeta militer, dan transisi demokrasi. Salah satu konflik yang paling menonjol dan berkepanjangan adalah antara pemerintah pusat yang didominasi oleh etnis Bamar dan kelompok-kelompok bersenjata etnis minoritas yang menuntut otonomi dan pengakuan. Konflik ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, pengungsi, pelanggaran HAM, dan keterbelakangan pembangunan.

Konflik Myanmar adalah salah satu isu kemanusiaan yang paling mendesak di dunia saat ini. Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, ratusan orang telah tewas dan ribuan lainnya terluka atau ditangkap oleh pasukan keamanan Myanmar yang menindak keras para pengunjuk rasa yang menuntut pemulihan demokrasi. Selain itu, konflik ini juga memperparah krisis Rohingya, sebuah kelompok etnis Muslim yang menghadapi diskriminasi, penganiayaan, dan pembantaian di Myanmar.

Kudeta ini memicu gelombang protes dan perlawanan dari rakyat sipil, yang kemudian dihadapi dengan kekerasan dan penindasan oleh militer. Selain itu, konflik bersenjata antara militer dan kelompok-kelompok bersenjata etnik di berbagai wilayah juga semakin memperparah situasi kemanusiaan di Myanmar.

setnasasean.id
setnasasean.id

Salah satu kelompok etnis minoritas yang paling menderita akibat konflik ini adalah Rohingya, sebuah kelompok etnis Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar. Rohingya adalah salah satu dari 135 kelompok etnis yang diakui oleh pemerintah Myanmar, tetapi mereka tidak diberikan kewarganegaraan dan hak-hak sipil. Mereka juga menghadapi diskriminasi, segregasi, dan pembatasan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Rohingya telah menjadi sasaran kekerasan dan penganiayaan oleh militer Myanmar dan kelompok-kelompok Buddha ekstremis sejak tahun 2012, ketika terjadi bentrokan komunal antara Rohingya dan etnis Rakhine. Situasi memburuk pada tahun 2016 dan 2017, ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer skala besar sebagai tanggapan terhadap serangan bersenjata oleh kelompok pemberontak Rohingya, Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA).

Operasi militer ini melibatkan pembakaran desa-desa Rohingya, pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyiksaan, yang dianggap oleh PBB sebagai kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Akibatnya, lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana mereka hidup di kamp-kamp pengungsian yang padat dan miskin.

Konflik Myanmar dan Rohingya semakin rumit dan mendesak akibat kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari 2021, yang menggulingkan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Kudeta ini dipicu oleh tuduhan kecurangan pemilu yang dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dengan perolehan suara sekitar 80%.

Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, menolak untuk mengakui hasil pemilu dan menahan Aung San Suu Kyi dan pejabat NLD lainnya. Kudeta ini memicu gelombang protes besar-besaran dari rakyat Myanmar, yang menuntut pemulihan demokrasi dan pembebasan para tahanan politik.

Namun, protes ini dihadapi dengan kekerasan brutal oleh pasukan keamanan Myanmar, yang menggunakan peluru tajam, gas air mata, granat, dan senjata berat untuk membubarkan massa. Menurut perkiraan Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sejak kudeta, setidaknya 759 orang telah tewas dan 4.513 orang telah ditangkap oleh pasukan keamanan Myanmar.

Kekejaman terhadap kelompok Rohingya oleh Myanmar dari sudut pandang manapun dinilai sudah menjadi pelanggaran terhadap HAM. Rohingya juga pantas untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lainnya, mereka berhak mendapatkan perlindungan dan penghormatan sebagai manusia. Mereka berhak mendapatkan kewarganegaraan dan hak-hak sipil, perlindungan dari kekerasan dan penganiayaan, bantuan kemanusiaan dan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Dilihat dari fakta yang ada, dapat disimpulkan bahwa konflik bersenjata di Myanmar memiliki dampak yang sangat negatif dan merugikan terhadap kondisi kemanusiaan di negara tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya segera dan komprehensif untuk menghentikan kekerasan, menyelesaikan konflik, dan memberikan bantuan dan perlindungan kepada warga yang terdampak.

Cara yang dapat dilakukan oleh ASEAN dan dunia internasional untuk menghentikan konflik di Myanmar adalah dengan mendorong gencatan senjata dan dialog inklusif antara semua pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk militer, pemerintah sipil, kelompok-kelompok bersenjata etnik, dan masyarakat sipil. Penyediaan akses kemanusiaan yang aman, cepat, dan tidak terhalang kepada semua orang yang membutuhkan bantuan, terutama di daerah-daerah konflik dan perbatasan.

PBB selaku Lembaga yang menaungi negara-negara didunia dapat memastikan bahwa semua pelanggaran HAM dan IHL diinvestigasi secara independen dan kredibel, dan para pelakunya diadili dan dihukum sesuai dengan hukum internasional, dan juga mendukung proses rekonsiliasi nasional dan transisi demokratis di Myanmar, dengan menghormati hak-hak dasar dan aspirasi rakyat Myanmar.

Krisis kemanusiaan di Myanmar dan Rohingya merupakan sebuah tantangan besar bagi kawasan ASEAN dan dunia internasional, yang harus berperan aktif dalam menyelesaikan konflik tersebut. Hubungan antara konflik Myanmar dan pengusiran Rohingya adalah bahwa keduanya merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap rakyatnya. Kedua isu ini juga menunjukkan ketidakpedulian dan ketidakberdayaan pemerintah sipil Myanmar, khususnya Aung San Suu Kyi, yang tidak berbuat apa-apa untuk melindungi Rohingya, bahkan membela militer di hadapan Mahkamah Internasional. Kedua isu ini juga menimbulkan dampak negatif bagi kawasan ASEAN, seperti aliran pengungsi, ancaman keamanan, dan ketegangan diplomatik. Oleh karena itu, kedua isu ini membutuhkan perhatian dan tindakan dari komunitas internasional, termasuk ASEAN, untuk menghentikan kekerasan, memberikan bantuan kemanusiaan, dan mencari solusi damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun