Kesehatan fauna merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem Indonesia. Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah penyakit botulisme, yang dapat mengancam tidak hanya hewan peliharaan tetapi juga keberlangsungan peternakan. Diketahui sebagai penyakit langka tetapi fatal, minimnya jumlah dokter hewan menambah kompleksitas situasi ini. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 13.500 dokter hewan aktif, jauh dari kebutuhan ideal sebanyak 50.000 dokter (PB PDHI). Kekurangan tenaga medis veteriner ini tidak hanya menghambat pengendalian botulisme, tetapi juga menantang upaya menjaga kesehatan fauna secara keseluruhan. Penyakit member pengaruh besar pada populasi ternak yang berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional. Mari bahas apa itu botulisme, peran strategis dokter hewan, serta langkah-langkah pencegahan untuk menjaga kesehatan fauna di Indonesia.
Mengenal Botulisme
Botulisme merupakan penyakit fatal neuroparalitik yang mengakibatkan kelumpuhan saraf tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga terhadap hewan mamalia, serta ikan (Natalia, 2013). Penyakit ini diakibatkan oleh paparan terhadap botulinum, alias neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri anaerob gram-positif penghasil spora, Clostridium botulinum. Neurotoksin botulinum memblokir stimulasi serat motorik. Akibatnya, terjadi kelumpuhan saraf kranial yang menyebabkan lemahnya otot, dimana kemudian berujung mengakibatkan kelumpuhan otot pernapasan. Apabila otot pernapasan sudah terdampak oleh neurotoksin ini, maka kematian menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
Bukan Penyakit Zoonotik
Neurotoksin ini menghasilkan toksin imunologis yang berbeda berdasarkan tipenya, di mana terdapat 8 tipe yang bervariasi dari A hingga G. Botulisme pada hewan sendiri biasanya diakibatkan oleh serotipe B, C, dan D (Coleman, 1998). Terdapat berbagai kasus botulisme terhadap hewan ternak tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit ini dapat menular kepada hewan domestik, misalnya anjing. Meskipun penyakit ini dapat menjangkit kesehatan hewan dan manusia, botulinum bukan termasuk penyakit zoonotik karena ada perbedaan pada jenis serotipe yang berdampak pada manusia dan hewan. Aktivitas Clostridium botulinum menjadi titik awal terjadinya dekomposisi bangkai hewan maupun sayuran, kondisi inilah yang akan mendorong spora bakteri ini untuk bergerminasi dan menghasilkan toksin.
Penyebaran Botulisme
Transmisi dari bakteri ini dapat terjadi akibat berbagai hal seperti:
1. Â Feedborne botulism: Penularan melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi maupun akibat pengawetan makanan yang tidak disimpan dengan baik.
2. Wound botulism: Penularan melalui infeksi luka.
3. Intestinal botulism: Penularan yang baru aktif ketika adanya interaksi spora Clostridium botulinum dengan sistem pencernaan.
4. Inhalation botulism: Ditularkan melalui toksin yang teraerosolkan (inhalation botulism) (Bossi et al., 2004).Â
Masa inkubasi botulisme dapat beragam, dimana masa inkubasi botulisme akibat makanan dapat berlangsung dari 24 jam hingga 17 hari sedangkan masa inkubasi botulisme toksikoinfeksi usus diketahui berlangsung dari 4 hingga 14 hari.
Gejala Botulisme Secara Klinis
Melansir dari artikel riset yang ditulis oleh Anniballi et al. (2013), botulisme dapat ditandai dengan:
Gejala awal berupa kelemahan serta tremor otot yang biasanya dimulai dari bagian belakang tubuh, tepatnya pada kaki belakang yang akan mengakibatkan ataksia seperti kesulitan berdiri atau berjalan.
Pada kasus akut, langkah kaki akan kaku dan posisi kaki belakang terlihat melebar. Kondisi ini menyebabkan keengganan hewan untuk berdiri.
Kelumpuhan meluas ke bagian depan tubuh (leher dan kepala) sehingga mengakibatkan postur kepala yang tidak normal.
Gejala diikuti dengan kelesuan ekspresi serta depresi yang terjadi akibat hilangnya tonus otot di sekitar mata dan mulut. Pupil pada mata akan melebar, pupil bereaksi secara lambat, dan mata akan nampak setengah terpejam.
Fenomena botulisme terjadi dengan sangat singkat, sehingga dibutuhkan diagnosis yang akurat dan cepat pula. Sayangnya, deteksi toksin botulinum pada hewan di Indonesia hanya dapat dilakukan di BBALITVET. Kelangkaan penyakit ini tetap harus diwaspadai agar menjamin adanya penanganan yang strategis pada situasi krusial. Hal ini meliputi langkah pencegahan dengan diagnosis awal yang diiringi tindakan yang sesuai, hingga euthanasia apabila kondisi hewan sudah tidak tertolong.
Langkah Pencegahan Penyebaran Clostridium botulinum
Diakibatkan tidak adanya pengobatan yang efektif, penting bagi hewan untuk mendapatkan vaksin sebagai bentuk pencegahan. Peran dokter hewan menjadi hal yang krusial dalam edukasi pemilik hewan untuk mendukung hak kesehatan hewan. Mencegah lebih mudah daripada mengobati, maka dari itu para dokter menghimbau pencegahan botulisme yang dapat dilakukan oleh pemilik hewan, yaitu dengan:
Menyediakan makanan aman dan berkualitas tinggi.
Memerhatikan penyimpanan dari pakan hewan.
Mencegah penggunaan air yang terkontaminasi mayat hewan kecil (misalnya burung)
Menghindari penggunaan kotoran unggas sebagai bahan tempat tidur
Mencegah terjadinya konsumsi bangkai unggas oleh hewan peliharaan
Maraknya produk wetfood untuk peliharaan yang dijual dalam kaleng harus diiringi dengan kewaspadaan pemilik hewan dalam hal kelayakan kemasan maupun penyimpanan makanan tersebut. Menurut Seafood Inspection Laboratory, kondisi makanan dalam kaleng perlu diperhatikan keadaan segelnya, tanda kebocoran, bau makanan, bahkan apabila makanan mengeluarkan cairan atau busa saat dibuka. Apabila tanda-tanda tersebut ditemukan, maka lebih baik tidak membiarkan hewan kesayangan mengonsumsi makanan tersebut. Penting diingat bahwa makanan kaleng yang sudah terbuka sebaiknya langsung dihabiskan dan tidak dibiarkan untuk konsumsi selanjutnya.
Antisipasi dengan Meningkatkan Angka Dokter Hewan
Mengingat bahwa botulisme merupakan penyakit dengan penyelesaian yang kompleks, kolaborasi antara dokter hewan dengan spesialisasi yang berbeda dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas penanganan botulisme. Kebutuhan akan dokter hewan dari berbagai ranah keahlian menjadi titik mula angka permintaan lulusan dokter hewan dengan minat serta dedikasi dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan fauna di Indonesia. Ketua PB PDHI, Dr. drh. Muhammad Munawaroh., MM. menyatakan bahwa jumlah ketersediaan dokter hewan sangat jauh dari angka ideal, yakni 50.000 orang. Saat ini, jumlah dokter hewan hanya sebanyak 13.500 orang dengan komposisi profesi dimana 50% bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), 40% pada sektor swasta, serta 10% melakukan praktisi mandiri. 1.691 unit puskeswan di Indonesia membutuhkan peningkatan untuk mencapai angka kebutuhan sebesar 3.547 unit, dimana perlu diingat bahwa prospek pekerjaan dokter hewan tidak hanya terbatas di puskeswan. Pencegahan wabah penyakit seperti botulisme juga membutuhkan tenaga dokter hewan dalam bidang keamanan pangan, laboratorium diagnostik, peternakan, konservasi satwa liar, serta bidang keamanan pangan.
Akhirnya, integrasi keahlian tetap dibutuhkan. Namun, hal ini harus didukung dengan angka lulusan dokter hewan yang berkualitas. Peningkatan edukasi masyarakat mengenai peran dokter hewan dalam bidang kesehatan perlu ditingkatkan agar meningkatkan minat cita-cita anak bangsa dalam menempuh profesi dalam bidang veteriner. Kiranya masyarakat dapat melihat ladang hijau dunia kedokteran hewan sebagai potensi yang strategis dalam meningkatkan keamanan kesehatan Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Louisa Charlene Budi Setiawan, mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Referensi:
Anniballi, F., Fiore, A., Lfstrm, C., Skarin, H., Auricchio, B., Woudstra, C., Bano, L., Segerman, B., Koene, M.G., Bverud, V., Hansen, T.L., Fach, P., Tevell berg, A., Hedeland, M., Olsson Engvall, E., & De Medici, D. (2013). Management of animal botulism outbreaks: from clinical suspicion to practical countermeasures to prevent or minimize outbreaks. Biosecurity and bioterrorism : biodefense strategy, practice, and science, 11 Suppl 1, S191-9Â
Baliseafoodlab. (2022). Clostridium botulinum pada makanan kaleng. Diakses pada 20 Desember 2024, dari https://baliseafoodlab.com/clostridium-botulinum-pada-makanan-kaleng/
Bossi, P., Tegnell, A., Baka, A., Werner, A., van Loock, F., Hendriks, J., Maidhof, H., & Gouvras, G. (2004). Bichat guidelines for the clinical management of botulism and bioterrorism-related botulism. Euro surveillance : bulletin Europeen sur les maladies transmissibles = European communicable disease bulletin, 9 12, 31-32 .
Coleman, E. S. (1998). Clostridial neurotoxins: Tetanus and botulism. Compendium on Continuing Education for the Practicing Veterinarian, 20(12), 1089--1097.
Sobel, J., Tucker, N., Sulka, A., McLaughlin, J., & Maslanka, S. (2004). Foodborne botulism in the United States, 1990-2000. Emerging infectious diseases, 10(9), 1606--1611. https://doi.org/10.3201/eid1009.030745
Jeyaraja, K., Saikrishna, K., Kumar, E.V., & Ramprabhu, R. (2021). Botulism in dogs: A clinical case study. Journal of Entomology and Zoology Studies.
Munawaroh, M. (2024. Kebutuhan dan potensi dokter hewan di Indonesia saat ini. Poultry Indonesia. Diakses pada 14 Desember 2024, dari https://www.poultryindonesia.com/id/kebutuhan-dan-potensi-dokter-hewan-di-indonesia-saat-ini/
Natalia, L & Priadi, A. (2012). Botulismus: Patogenesis, Diagnosis dan Pencegahan, (30), 127--140. Balai Besar Penelitian Veteriner
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H