Setelah makan malam, jam 19.00 Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), (31/08/2023) sekitar 30 siswa SMA Lokon (berasrama) peminat astronomi, bergerak menuju ke kubah Mt. Lokon Observatory yang berlokasi di lantai atas gedung sekolah.
Mt. Lokon Observatory berada di lantai tiga di rooftop. Mario K, guru astronomi SMA Lokon, sudah memasang dua teleskop "Sky-Watcher" dan "Star-Watcher" di sekitar kubah. Tak hanya itu, ujung dua teleskop sudah mengarah ke Tenggara, di mana Bulan mulai mengorbit.
Pengamatan menggunakan teleskop hanya bisa dilakukan satu per satu melalui lubang alatnya. Namun, Mario K memberikan penjelasan tentang fenomena terjadinya Supermoon.
"Supermoon dalam tahun ini terjadi beberapa kali. Juli, Agustus dan September. Malam ini, Supermoon dinamakan Full Blue Moon". Mengapa dinamakan seperti itu?Â
Ini bukan karena bulannya berwarna biru. Tetapi, sebutan untuk bulan purnama yang muncul kedua dalam satu bulan kalender (Agustus) yang memiliki dua bulan purnama. Jelas ya?" kata Mario K kepada para siswa.
Super Full Moon sebutan lain dari Supermoon karena bulan berada di titik terdekatnya dengan bumi dan tampak lebih besar dan lebih terang dari biasanya, imbuh Mario K.
Maria Laude, Ketua Jurnal Losnito, mendekati teleskop "skywatcher" untuk mencoba "mengeker" bulan dari lubang. Namun, Maria tidak puas melihat dari lubang itu, cahaya Bulan terlihat terang. Kemudian, Maria bergeser ke teleskop "starwatcher" yang sudah dipasangi HP untuk melihat bulan.
Hanya dengan merekayasa agar HP auto fokus, Maria bisa melihat Bulan lebih detil. Tampak jelas permukaan Bulan, lubang kawah-kawah dan garis-garisnya mirip buah melon.
"Kawah-kawah yang ada di bulan itu, sudah ada namanya. Kawah Copernicus berdiameter 93 kilometer, kawah Tycho berdiameter 85 kilometer, kawah Plato berdiameter sekitar 101 kilometer, dan kawah South Pole-Aitken Basin, punya cekungan yang lebarnya 2.500 kilometer dan tidak mudah dilihat dari Bumi" tambah Mario menjelaskan kepada para siswa.