"Yang rumah besar itu, disewakan dengan harga 1 juta. Cocok untuk rombongan dan bisa memasak sendiri. Sedangkan di sana, rumah pendopo kecil, hanya menyewakan ruang tidur dan kamar mandi dalam, harganya sekitar 500 ratus ribu," ungkap si bapak tukang parkir.
"Monggo dipilih, mau nginap di Embun Segoro, Zal-in, Acala Ayu, atau Pins," lanjut Bapak Tukang Parkir.
Setelah kesana-kemari, akhirnya, Embun Segoro dibooking karena langsung menghadap laut dan memiliki satu pendopo untuk perorangan. Suara gemuruh ombak laut menjadi musik alami yang langsung bersahabat dengan saya selama di Pantai Mbuluk.
Hingga sore hari, wisatawan yang datang berkunjung ke pantai Mbuluk, tidak sebanyak yang ada di pantai Baron sebelahnya. Sungguh terasa pengaruh dari pandemi virus Corona di lokasi wisata ini. Sedikit dan tidak menimbulkan kerumunan wisatawan di pantai ini.
Sejak tiba hingga malam menjelang santap malam, saya merasakan nuansa alamnya seperti sedang berada di salah satu pantai karang di Bali. Ombak laut yang menghantam batu-batu karang di pinggir pantai menghasilkan orkestra alam yang seolah langsung menerkam pikiran.
Tak hanya itu, arsitektur penginapannya dibangun dengan corak rumah Jawa. Saya melihat atapnya dihiasi dengan ornamen gerabah berukir. Ada ayam jago diletakkan di tengah atap. Kayu lisplang terasnya terukir berlekuk-lekuk simetris.
Saya tidak tahu persis apakah atap model rumah yang saya tempati itu termasuk Panggang Pe, Limasan, Joglo atau Tajug. Kayaknya Limasan, karena atap rumahnya berbentuk segitiga tumpul.
Matahari sudah terbenam. Lampu-lampu rumah dinyalakan bukan lampu neon tetapi lampunya merah kekuningan. Tampak rumah-rumah itu indah karena ambien sinarnya menyatu dengan warna kayu jatinya
Untuk makan malam, saya pesan ke penjaga homestay menu ikan bakar, cumi goreng, lalapan, dan nasi. Kalau ingin yang berkuah, tersedia mie rebus. Rupanya, penjaga itu memesannya dari warung makan yang ada di sebelah homestay yang sudah menjadi langganannya.