Sebelum PPKM Darurat diterapkan di Pulau Jawa dan Bali, saya memanfaatkan liburan Juli ini dengan berwisata di Pantai Mbuluk, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Hati saya sempat galau sebelum berlibur dan traveling ke lokasi wisata. Untuk melakukan perjalanan wisata itu, saya membekali diri dengan dokumen perjalanan selain KTP saya wajib punya hasil tes antigen, kartu sertifikat vaksin, masker, dan hand sanitizer.
Dengan cara begitu, saya tidak mengalami hambatan saat naik pesawat (12/7) dari Manado dan mendarat di bandara YIA Kulonprogo. Di perjalanan menuju Gunung Kidul, menggunakan mobil, saya bersyukur tiba di tempat tujuan dengan aman dan lancar.
Pantai Mbuluk, pantai yang bersebelahan dengan Pantai Baron, berlokasi di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak sulit menemukan pantai Mbuluk dari keberangkatan kota Yogya. Selain menggunakan Google Maps, saya dituntun dengan mengikuti papan petunjuk nama pantai di pinggir jalan.
Siang itu, langit biru dan panasnya pantai menyambut kedatangan saya. Dari jalan raya, saya harus mengarah ke jalan pantai yang sebagian masih berupa tanah bebatuan.
Tukang parkir memberikan aba-aba untuk segera memarkir mobil di tempat yang disediakan. Namun, saya justru mengajukan pertanyaan kepada si bapak tukang parkir.
Dari informasi si bapak tukang parkir, ternyata di Pantai Mbuluk sudah tersedia beberapa penginapan ala homestay yang berdiri kokoh mengikuti kontur perbukitan batu kars. Akomodasi penginapan di Mbuluk ini bisa juga dipesan lewat online.
"Yang rumah besar itu, disewakan dengan harga 1 juta. Cocok untuk rombongan dan bisa memasak sendiri. Sedangkan di sana, rumah pendopo kecil, hanya menyewakan ruang tidur dan kamar mandi dalam, harganya sekitar 500 ratus ribu," ungkap si bapak tukang parkir.
"Monggo dipilih, mau nginap di Embun Segoro, Zal-in, Acala Ayu, atau Pins," lanjut Bapak Tukang Parkir.
Setelah kesana-kemari, akhirnya, Embun Segoro dibooking karena langsung menghadap laut dan memiliki satu pendopo untuk perorangan. Suara gemuruh ombak laut menjadi musik alami yang langsung bersahabat dengan saya selama di Pantai Mbuluk.
Hingga sore hari, wisatawan yang datang berkunjung ke pantai Mbuluk, tidak sebanyak yang ada di pantai Baron sebelahnya. Sungguh terasa pengaruh dari pandemi virus Corona di lokasi wisata ini. Sedikit dan tidak menimbulkan kerumunan wisatawan di pantai ini.
Sejak tiba hingga malam menjelang santap malam, saya merasakan nuansa alamnya seperti sedang berada di salah satu pantai karang di Bali. Ombak laut yang menghantam batu-batu karang di pinggir pantai menghasilkan orkestra alam yang seolah langsung menerkam pikiran.
Tak hanya itu, arsitektur penginapannya dibangun dengan corak rumah Jawa. Saya melihat atapnya dihiasi dengan ornamen gerabah berukir. Ada ayam jago diletakkan di tengah atap. Kayu lisplang terasnya terukir berlekuk-lekuk simetris.
Saya tidak tahu persis apakah atap model rumah yang saya tempati itu termasuk Panggang Pe, Limasan, Joglo atau Tajug. Kayaknya Limasan, karena atap rumahnya berbentuk segitiga tumpul.
Matahari sudah terbenam. Lampu-lampu rumah dinyalakan bukan lampu neon tetapi lampunya merah kekuningan. Tampak rumah-rumah itu indah karena ambien sinarnya menyatu dengan warna kayu jatinya
Untuk makan malam, saya pesan ke penjaga homestay menu ikan bakar, cumi goreng, lalapan, dan nasi. Kalau ingin yang berkuah, tersedia mie rebus. Rupanya, penjaga itu memesannya dari warung makan yang ada di sebelah homestay yang sudah menjadi langganannya.
Di malam hari udara tidak terlalu dingin meski angin laut mengarah ke teras penginapan. Justru suara deru ombak laut terasa makin keras dan saya rasa tidak pernah berhenti hingga pagi harinya.
Makan pagi disediakan secara unik. Nasi rames yang dibungkus daun jati.
Pantai Mbuluk, di siang hari, memiliki banyak spot untuk foto. Di atas batu karang yang di bawahnya tersapu hempasan air laut atau di jalan setapak yang dibuat menempel tebing bukit karang.
Mau berbasah-basah dengan air laut juga bisa. Pantai berpasirnya tidak luas, tapi masih bisa untuk main basah. Saya melihat seorang bapak sedang melayani pembeli ember plastik ukuran kecil dan jaring tangkap ikan.
Wisatawan dan anaknya yang beli ember dan jaring ikan tadi menuju ke pantai yang berbatuan. Jaring ikan berukuran kecil dipakainya untuk menangkap ikan hias yang terjebak di bebatuan. Setelah ikan tertangkap, dimasukkan ke ember kecil. Senyum mengembang pada anak kecil itu, puas mendapatkan ikan hias itu.
Menginap semalam di Pantai Mbuluk sambil menikmati suasana alam lingkungannya, betul-betul mirip di pantai Bali. Tak perlu jauh-jauh terbang ke Bali. Di Mbuluk ini, bagi saya cukup untuk melepas kelelahan rutinitas di kantor.
Terbayar sudah, meski harus merogoh kocek sebesar 500 ribu untuk semalam. Keletihan perjalanan dari Manado langsung sirna. Yang penting saya bisa menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan dengan nyaman di masa PPKM.
Salam Prokes. Salam Koteka. Selamat menonton video liputan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H