"Capek. Latihannya setiap sore hingga malam. Belum dimarahi pelatih kalau terlambat datang. Atau tidak bisa kompak dengan satu tim. Pelatih akan memastikan dengan keras kalau belum menguasai lagu atau musik. Belum koreografer. Satu hal lagi, kalau ada teman melakukan kesalahan, misalnya salah nada, atau gerakan, yah kami bersabar dan solider sebagai tim," ungkap Jerry, kelas XII, pemegang alat perkusi.
"Saat tampil display di depan panggung utama, kami dilepas oleh pelatih. Semua perlengkapan marching band, termasuk bendera, harus kami siapkan sendiri, bukan lagi pelatih. Untung teman-teman yang tidak main (di luar marching band) rela membantu kami. Itulah kami belajar kompak, kerja sama, mandiri," lanjut Jerry, siswa asal Kendari.
Di sekolah lain, pasti mengalami proses pembentukan karakter yang sama ketika mereka memilih marching band sebagai ekskul pilihannya. Model dan proses pembelajaran ini selalu diterapkan meski siswa yang ikut marching band setiap tahun atau tiga tahun berganti orang.
"Aku bahagia karena aku bisa bangga merayakan HUT RI ke 74 dengan ikut di marching band dalam pawai di Tomohon, meski diguyur hujan," kata Christle, Mayoret MB Lokon, usai memimpin display di depan panggung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H