Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ojek Troli hingga Berburu "Blue Fire" di Kawah Ijen

17 Januari 2019   15:09 Diperbarui: 17 Januari 2019   19:51 1928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nilai sebuah perjuangan penambang (Dokpri)

Di antara kami berlima, tak seorang pun pernah menginjakkan kakinya di Gunung Ijen, Bondowoso, Jawa Timur. Cerita teman yang pernah mendaki ke kawah Ijen dan informasi para traveller yang diunggah di dunia maya, menjadi kompas dalam berburu "blue fire".

Selepas merayakan Malam Natal di Bali, esok harinya (25/12) sekitar jam 2 pagi, kami bersiap-siap berangkat ke Banyuwangi. "Ya, perjalanan ke Banyuwangi dari Tabanan, sekitar 4 jam" ungkap Wahyu sambil mengemudikan mobilnya.

Lokasi Pengamatan Blue Fire (Dokpri)
Lokasi Pengamatan Blue Fire (Dokpri)
Tetiba di Selat Bali, langit sudah terbuka tanda pagi tiba. Sayang awan hitam menggantung sehingga keinginan untuk melihat "sunrise" dari lokasi penyeberangan Gilimanuk - Ketapang tidak tersaji di depan mata. Saat musim liburan itu, kendaraan yang menyeberang ke Jawa, tidak banyak. Masih ada ruang lega di kapal yang kami tumpangi.

Memasuki kota "Gandrung" Banyuwangi, perut kami mulai terasa lapar. Muncul niat kami untuk mencari sarapan kuliner khas Banyuwangi. Nasi Tempong atau "Sego Tempong" Mbok Nah yang terkenal pedas seperti pipi ditampar lantas kami buru pagi itu. Berbekal Google Map, kami menemukan lokasinya. Sayang kami datang terlalu pagi, sehingga lauk dan lalapan sayurannya belum tersedia.

Lembaga Adat (Dokpri)
Lembaga Adat (Dokpri)
Karena masih pagi, tak hanya kuliner yang kami cari. Kampung adat Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi, kami sambangi untuk menyoba kopi osing yang terkenal rasanya.

Wahyu mengarahkan mobilnya ke Desa Kemiren. Lalu, berhenti di gapura yang terpapang jelas tulisan Desa Adat Osing Kemiren untuk berswafoto. Keunikan desa adat ini, baru "kelihatan" ketika kami berhenti di rumah-rumah yang masih mempertahankan corak dan arsitektur aslinya pada bangunan rumah dan meja kursinya.

Pintu Gerbang Desa Adat Osing Kemiren (Dokpri)
Pintu Gerbang Desa Adat Osing Kemiren (Dokpri)
"Saya kira kampung adatnya itu satu lokasi, ternyata terpencar di mana-mana dan berada di antara bangunan rumah warga yang modern" kata saya setelah menyusuri desa Kemiren.

Pos Paltuding
Akhirnya kami memutuskan ke arah Ijen. Tepatnya, menuju Pos Paltuding, pos masuk ke kawah Ijen. Saat tiba di pakiran pos itu, jarum jam menunjuk pada angka 10 lebih. Meski masih siang tapi sudah terasa seperti sore karena mendung.

Peta Wisata Kawah Ijen di Paltidung (Dokpri)
Peta Wisata Kawah Ijen di Paltidung (Dokpri)
Puncak Gunung Ijen memiliki ketinggian 2.443 m dpl. Namun, di pos Paltuding dinginnya udara sudah terasa menusuk tulang.

"Aku mau beli sarung tangan, soalnya tanganku mulai kedinginan" kata saya sambil mengajak Jay, guru Mandarin, yang penasaran dengan "blue fire". Selain warung-warung, tersedia homestay, tenda-tenda, toilet dan pusat informasi Wisata Kawah Ijen. Saya dengar, menginap di homestay semalam biayanya sekitar 400 ribu rupiah.

Tiket Masuk Wisata Kawah Ijen (Dokpri)
Tiket Masuk Wisata Kawah Ijen (Dokpri)
Pedagang asongan yang berkeliling menjual sarung tangan, kupluk, kaos kaki dan aneka kebutuhan pendakian, menawarkan harga 10 ribu untuk sepasang sarung tangan. Kami beli dua pasang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun