Siapa yang tidak senang bekas Pabrik Gula (PG) Colomadu, di Kabupaten Karanganyar, Surakarta, sudah tampil elegan ketimbang sebelumnya? Siapa yang tidak tertarik bekas pabrik gula itu (sekarang) bisa menjadi tempat untuk mengedukasi generasi zaman now? Siapa yang tidak terpikat, "De Tjolomadoe" adalah rumah yang berfungsi sebagai pelestarian seni dan budaya Jawa?
Pertanyaan itu muncul begitu saja setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri hasil "revitalisasi" yang dikerjakan oleh Kementerian BUMN, beberapa bulan yang lalu (30/6) sembari mengisi liburan sekolah.
Berangkat dari Salatiga sudah siang. Sepanjang perjalanan menuju Solo langit tampak cerah dan beradu dengan teriknya panas matahari. Tak ada hambatan untuk sampai di "De Tjolomadoe". Â Meski suasana masih libur, lalu lintas ruas Salatiga menuju Solo tetap lancar.
Seluruh penumpang mobil Avanza, berwisata ke bekas pabrik gula, hanya berbekal penasaran saja. Cerita dari mulut ke mulut, bahwa bekas pabrik gula sekarang ini "apik banget" (benar-benar mempesona), membuat kami bergegas meluncur ke destinasi wisata baru di sekitar Solo itu.
Meski terik matahari terasa panas di badan, tetapi banyaknya mobil yang parkir, menandakan antusias wisatawan yang berkunjung di bekas pabrik gula ini, cukup tinggi. Â
"Menanam tebu dan mendirikan pabrik gula, merupakan bagian dari strategi perekonomian saat itu, kurun waktu 1857-1877, untuk tanaman komoditas ekspor. Pada masa Mangkunegara IV, dibangun dua pabrik gula yaitu Colomadu dan Tasikmadu di wilayah Karanganyar. Jadi yang mendirikan pabrik gula ini pada tahun 1861, adalah Mangkunegara IV dengan persetujuan Residen Belanda di Surakarta" cerita petugas saat saya mendekati untuk mencari informasi tentang pabrik gula ini.
"Pabrik Colomadu mampu menghasilkan 3.700 kwintal gula berkualitas yang diambil dari perkebunan tebu seluas 95 ha di atas tanah lungguh milik Mangkunegaran. Kejayaan gula Colomadu terhenti ketika Jepang (1942) masuk ke Indonesia untuk menggantikan Belanda. Entah kenapa, pabrik gula ini meredup hasilnya sejak Jepang campur tangan dalam menangani produksi gula" lanjut cerita petugas dan tak hanya saya saja yang mendengarkan tetapi ada beberapa wisatawan menghentikan langkahnya untuk mendengar kisah itu.
Saya berterimakasih kepada petugas tadi. Tanpa cerita itu saya tak bisa membayangkan mengapa mesin pengolah tebu menjadi gula, yang ada di depan mata, berukuran besar-besar. Saya kemudian melangkah menuju ke Stasiun Gilingan. Mesin gilingannya, meski sudah tidak berjalan, masih terlihat kokoh dan besar. Hanya sayang, stasiun gilingan kini menjadi museum.
Pengunjung yang lelah berkeliling tak perlu kuatir kalau haus dan lapar. Stasiun Besalen telah beralih fungsi sebagai kafe. Fasilitas toiletnya sangat modern dan jauh dari kesan jorok. Nampaknya, kemegahan gedung berbanding lurus dengan kebersihan toilet. Sudah jamannya, kita semua harus memiliki budaya bersih saat menggunakan fasilitas umum.
"Justru revitalisasi cagar budaya akan menjadi destrukksi" kritik pedas budayawan dan seniman Sardono Wahyu Kusumo sebagaimana dilansir oleh media detik.com (5/4/2018). Kegundahan hati Sardono disebabkan karena menghilangkan keaslian warisan budaya dan dialihfungsikan yang cenderung berbau bisnis berupa restoran, cafe, kios butik dan oleh-oleh.
Kemegahan "indoor" gedung memang patut diacungi jempol. Kesan "retro" masih melekat di hati wisatawan yang mampu membayangkan kilas balik sejarah PG Colomadu ini. Sebanding dengan ruangan dalam dalam gedung yang "wah", landskap "outdoor" gedung tak kalah indahnya.
Tiba-tiba hape saya berdering. Adik saya yang di Semarang telpon saya. Intinya dia ingin mengatakan bahwa pada waktu malam "De Tjolomadoe" tampak anggun dan menawan karena dihiasi oleh lampu-lampu yang warna-warni dan menimbulkan kesan romantis di hati.
Salam Kotekasiana. Salam traveling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H