Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Memotret Indahnya Bekas Pabrik Gula "De Tjolomadoe"

30 Juli 2018   21:15 Diperbarui: 31 Juli 2018   17:25 2423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak senang bekas Pabrik Gula (PG) Colomadu, di Kabupaten Karanganyar, Surakarta, sudah tampil elegan ketimbang sebelumnya? Siapa yang tidak tertarik bekas pabrik gula itu (sekarang) bisa menjadi tempat untuk mengedukasi generasi zaman now? Siapa yang tidak terpikat, "De Tjolomadoe" adalah rumah yang berfungsi sebagai pelestarian seni dan budaya Jawa?

Pertanyaan itu muncul begitu saja setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri hasil "revitalisasi" yang dikerjakan oleh Kementerian BUMN, beberapa bulan yang lalu (30/6) sembari mengisi liburan sekolah.

Berangkat dari Salatiga sudah siang. Sepanjang perjalanan menuju Solo langit tampak cerah dan beradu dengan teriknya panas matahari. Tak ada hambatan untuk sampai di "De Tjolomadoe".  Meski suasana masih libur, lalu lintas ruas Salatiga menuju Solo tetap lancar.

Seluruh penumpang mobil Avanza, berwisata ke bekas pabrik gula, hanya berbekal penasaran saja. Cerita dari mulut ke mulut, bahwa bekas pabrik gula sekarang ini "apik banget" (benar-benar mempesona), membuat kami bergegas meluncur ke destinasi wisata baru di sekitar Solo itu.

Pintu masuk warna merah (dokpri)
Pintu masuk warna merah (dokpri)
Area Parkir (dokpri)
Area Parkir (dokpri)
Sebelum memasuki area parkir "De Tjolomadu" mobil berhenti untuk mendapatkan karcis parkir dengan pencet tombol pada mesin parkir elektronik. Palang pintu akan terbuka setelah mencabut karcis yang keluar dari mesin parkir itu.

Meski terik matahari terasa panas di badan, tetapi banyaknya mobil yang parkir, menandakan antusias wisatawan yang berkunjung di bekas pabrik gula ini, cukup tinggi.  

Alih fungsi jadi Cafe (dokpri)
Alih fungsi jadi Cafe (dokpri)
Foto Jadul (dokpri)
Foto Jadul (dokpri)
Begitu melihat gedung-gedung bekas pabrik gula berukuran besar dan cerobong yang berdiri tegak menjulang ke langit, ingatan saya tertuju pada "warisan" zaman Hindia Belanda yang  memang "gemar" meninggalkan bangunan-bangunan yang kokoh setelah hengkang dari bumi pertiwi.

"Menanam tebu dan mendirikan pabrik gula, merupakan bagian dari strategi perekonomian saat itu, kurun waktu 1857-1877, untuk tanaman komoditas ekspor. Pada masa Mangkunegara IV, dibangun dua pabrik gula yaitu Colomadu dan Tasikmadu di wilayah Karanganyar. Jadi yang mendirikan pabrik gula ini pada tahun 1861, adalah Mangkunegara IV dengan persetujuan Residen Belanda di Surakarta" cerita petugas saat saya mendekati untuk mencari informasi tentang pabrik gula ini.

Roda Ukuran besar (dokpri)
Roda Ukuran besar (dokpri)
Masih tegak bediri (dokpri)
Masih tegak bediri (dokpri)
Meski disebutkan Mangkunegara yang mendirikan tetapi desain dan pembangunan pabrik gula Colomadu ini dikerjakan oleh seorang warga Jerman yang bernama R. Kampf, seorang administratur yang memimpin pabrik. Pada era 1860-an, gula menjadi komoditas yang sangat bernilai ekonomi tinggi karena dibutuhkan oleh pasar dalam dan luar negeri.

"Pabrik Colomadu mampu menghasilkan 3.700 kwintal gula berkualitas yang diambil dari perkebunan tebu seluas 95 ha di atas tanah lungguh milik Mangkunegaran. Kejayaan gula Colomadu terhenti ketika Jepang (1942) masuk ke Indonesia untuk menggantikan Belanda. Entah kenapa, pabrik gula ini meredup hasilnya sejak Jepang campur tangan dalam menangani produksi gula" lanjut cerita petugas dan tak hanya saya saja yang mendengarkan tetapi ada beberapa wisatawan menghentikan langkahnya untuk mendengar kisah itu.

Saya berterimakasih kepada petugas tadi. Tanpa cerita itu saya tak bisa membayangkan mengapa mesin pengolah tebu menjadi gula, yang ada di depan mata, berukuran besar-besar. Saya kemudian melangkah menuju ke Stasiun Gilingan. Mesin gilingannya, meski sudah tidak berjalan, masih terlihat kokoh dan besar. Hanya sayang, stasiun gilingan kini menjadi museum.

Cafe dan Resto (dokpri)
Cafe dan Resto (dokpri)
Ruang duduk samping Cafe (dokpri)
Ruang duduk samping Cafe (dokpri)
Melangkah lebih dalam lagi, saya mendekati ruangan yang tertera tulisan Stasiun Ketelan. Karena revitalisasi stasiun ini dijadikan "cafe restoran" yang elegan menurut pandangan mata saya. Di sebelahnya, Stasiun Penguapan, kini dipakai untuk menjual kain batik khas Solo. Stasiun yang lain seperti Stasiun Karbonasi, ruangannya untuk pusat kerajian handmade.

Pengunjung yang lelah berkeliling tak perlu kuatir kalau haus dan lapar. Stasiun Besalen telah beralih fungsi sebagai kafe. Fasilitas toiletnya sangat modern dan jauh dari kesan jorok. Nampaknya, kemegahan gedung berbanding lurus dengan kebersihan toilet. Sudah jamannya, kita semua harus memiliki budaya bersih saat menggunakan fasilitas umum.

"Justru revitalisasi cagar budaya akan menjadi destrukksi" kritik pedas budayawan dan seniman Sardono Wahyu Kusumo sebagaimana dilansir oleh media detik.com (5/4/2018). Kegundahan hati Sardono disebabkan karena menghilangkan keaslian warisan budaya dan dialihfungsikan yang cenderung berbau bisnis berupa restoran, cafe, kios butik dan oleh-oleh.

Kios Butik (dokpri)
Kios Butik (dokpri)
Stasiun Penguapan (dokpri)
Stasiun Penguapan (dokpri)
Dua gedung yang menjadi andalan "De Tjolomadu" untuk konser berkelas internasional diberi nama Tjolomadoe Hall dan gedung pertemuan dan pernikahan diberi nama Sakara Hall. Kapasitas gedung Tjolomadoe Hall bisa menampung 2.500 orang, sedangkan Sakara Hall muat 1.200 orang.

Kemegahan "indoor" gedung memang patut diacungi jempol. Kesan "retro" masih melekat di hati wisatawan yang mampu membayangkan kilas balik sejarah PG Colomadu ini. Sebanding dengan ruangan dalam dalam gedung yang "wah", landskap "outdoor" gedung tak kalah indahnya.

Taman luar (dokpri)
Taman luar (dokpri)
Taman Rindang (dokpri)
Taman Rindang (dokpri)
Penataan taman dan lahan parkir sungguh bagus dan tertata rapi. Wisatawan bisa duduk leluasa sembari menikmati semilir angin dan mengamati bangunan raksasa bekas pabrik gula peninggalan zaman Belanda. Di muka gedung atau dekat jalan raya, terdapat amphiteatre mini, kata Satpam, dipakai untuk performance art.

Tiba-tiba hape saya berdering. Adik saya yang di Semarang telpon saya. Intinya dia ingin mengatakan bahwa pada waktu malam "De Tjolomadoe" tampak anggun dan menawan karena dihiasi oleh lampu-lampu yang warna-warni dan menimbulkan kesan romantis di hati.

Poster Noah, di depan pintu masuk (dokpri)
Poster Noah, di depan pintu masuk (dokpri)
Hall Konser (dokpri)
Hall Konser (dokpri)
"Yah, kok nggak bilang sebelum berangkat, kalau saya tahu, pasti kedatangan di Colomadu ini, bisa saya tunda saat malam tiba" balas saya menghibur diri. Apalagi nanti jam tujuh malam, NOAH akan menggelar eklusif konser bagi warga Surakarta.

Salam Kotekasiana. Salam traveling.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun