Selama kebiasaan ini dilakukan oleh orang Indonesia, objek wisata pantai atau perbukitan tidak akan sepi oleh wisatawan. Orang gunung lebih suka ke pantai. Orang pantai menyukai kesejukan udara di gunung atau perbukitan.
Nah, sebagai orang yang tinggal di kaki Gunung Lokon, saat teman saya menawari pergi ke Hutan Mangrove Ngurah Rai, langsung saya iyakan. Alasannya, cuma ingin wisata antimainstream saja. Bukan ke pantai berpasir atau gunung berdanau, atau melihat pura, tetapi ingin menikmati suasana hutan.
Sempat kami bingung mencari jalan masuk ke Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai yang luasnya 1.373,5 ha. Padahal posisi saya ada di Sunset Road. Menurut Google Map, jalan masuk ke Tahura Ngurah Rai ini bisa ditempuh dari jalan By Pas Ngurah Rai Km 21, belok kiri (jalan searah) dan mengikuti papan petunjuk bertuliskan Proyek Pusat Informasi Mangrove atau Ekowisata Mangrove Wanasar.
“Duta Mangrove Indonesia adalah Christiano Ronaldo, pemain terbaik dunia 2008”ujar teman saya di mobil saat memasuki jalan masuk hutan Mangrove. Kehancuran luar biasa, termasuk kawasan Mangrove, akibat tsunami Aceh 2004 yang lalu, menjadi alasan CR7 julukan Christiano Ronaldo untuk menerima tugas sebagai Duta Mangrove Indonesia (berita 26/6/2013). Saat itu CR7 menanam bersama dengan SBY di kawasan Mangrove Telaga Waja, Tanjung Benoa.
Manfaat hutan mangrove adalah konservasi. Pencegahan terjadinya abrasi, erosi, intrusi air laut, dan kebisingan angin. Secara bioekologi, hutan mangrove menjadi tempat ideal bagi berkembangnya hewan seperti udang, kepiting, burung dan binatang tepi pantai lainnya. Secara ekonomi, berfungsi sebagai eko wisata.
Tetibanya di lokasi, lalu saya menuju loket untuk membayar karcis masuk. Untuk tiga orang, saya merogoh kocek sebesar Rp. 30.000,- Sempat ditanya petugas, maksud kedatangan kami. Kalau melakukan foto prewedding atau foto produk, dikenai biaya Rp. 300.000,-. Rupanya kamera DSLR yang saya kalungkan memancing pertanyaan itu.
“Kalau air laut sedang pasang, sering ada perahu yang mendekati pengunjung menawarkan jasa keliling ke hutan Bakau. Per orang Rp. 10.000,-“ cerita penjual makanan di depan loket masuk.
Jalan setapak itu panjangnya sekitar 2 km. Pulang pergi ya lumayan jauhnya 4 km. Namun kaki ini tak terasa capek karena terdapat pos-pos atau gazebo-gasebo tempat berteduh. Mungkin ini untuk mengatisipasi untuk pengunjung yang capek atau pas hujan turun.
Tak terasa langit makin gelap. Pemandangan jalan TOL makin menarik. Rasa ingin duduk berlama-lama di ujung hutan bakau membuncah. Tapi, gelap makin pekat. Suara binatang malam terdengar makin keras. Setelah berfoto pemandangan indah itu, kami memutuskan untuk pulang. Senter dari hape dan power bank menemani langkah pulang kami hingga ke tempat parkir yang sepi. Tak ada lagi petugas yang berjaga di loket.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H