[caption caption="Cagar Budaya Candi Klodangan Berbah Sleman DIYm (Dokpri)"][/caption]Tetiba di Yogya, gerah makin terasa di badan. Perjalanan dari Solo ke kota Gudeg cukup melelahkan seiring dengan padatnya lalulintas pada saat liburan Januari 2016. Pendingin udara di dalam mobil sepertinya tidak berpengaruh terhadap panasnya Yogya. Dahaga mulai terasa di kerongkongan saya. Begitu pula teman saya dari Bekasi bersama istri dan kedua anaknya yang duduk belakang, sudah tampak gerah.
Perjalanan kami ke Kadipolo, Sendangtirto sebenarnya bersilahturahmi dengan kawan lama teman saya yang dulu pernah tinggal bertetangga di Bekasi. Begitu masuk ke rumahnya, terasa asri oleh tetumbuhan yang ditanamnya di pekarangan. Segelas sirup orange dingin, membasahi kerongkongan saya yang sejak tadi terasa kering.
[caption caption="Petilasan Candi Klodangan"]
“Untuk sampai ke candi harus lewat pematang sawah” ujar tuan rumah sambil menunjukkan arah candi yang dimaksud. Atas penjelasan itu, kami semakin penasaran ingin menyambangi candi tersebut. Sejauh mata memandang dari teras rumah, tak kelihat ada candi di sekitar sini.
“Mari kita jalan” ujar tuan rumah dengan langkah mendahului kami dan berada di depan bak seorang pemandu wisata dadakan.
Saya berjalan di belakang sendiri. Pematang sawah yang saya lewati agak becek. Persawahan itu menghijau oleh padi yang masih berumur pendek. Tuan rumah dan teman saya beserta anaknya sudah lebih dulu tiba di candi. Tak kurang dari 10 menit kami sudah berkumpul di pelataran candi.
[caption caption="Papan nama Candi Klodangan (Dokpri)"]
“Sewaktu Gunung Kelud meletus (2014), candi Klodangan ini tertutup oleh abu vulkanik. Padahal jaraknya hampir 250 km dari Gunung Kelud” kata pak Purwanto penjaga cagar budaya Candi Klodangan membuka percakapan dengan kami.
“Memakan waktu cukup lama untuk membersihkan abu vulkanik itu” keluh pak Purwanto hingga kami ikutnmerasa iba sambil membayangkan pekerjaan itu. Betapa tidak, candi Klodangan berada di kedalaman 120 cm, dengan ukuran 7,5 m x 7,5 m di atas tanah seluas sekitar 8 meter persegi. Reruntuhan candi berupa batu putih atau yang disebut ”tuff” terlihat mendominasi. Sepertinya batu-batu itu adalah pondasi candi. Sementara, puncak candi tidak ditemukan saat penggalian pada tanggal 14-19 Februari 2000.
[caption caption="Tumpukan batu candi, reruntuhan abad 9-10 Masehi"]
Informasi pak Pur ini mengingatkan saya pada candi Abang yang dibangun disekitar abad 9-10 pada jaman Mataram Kuno, dan bercorak Hindu. Tapi, ada sedikit keraguan di hati pak Pur untuk mengatakan apakah candi Klodangan itu bercorak Hindu atau Budha. “Belum ada tampak tilas yang menyebutkan candi itu Budha atau Hindhu” jelas Pak Pur.