Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Durian Brongkol, Rasanya Legit Manis dan Pahit

9 Januari 2016   23:27 Diperbarui: 10 Januari 2016   10:41 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Durian Brongkol, Siap Disantap"][/caption]Sabtu siang (9/1/2016) panasnya hawa udara Semarang tak mengurungkan niat saya dan teman-teman untuk meluncur ke desa Brongkol. Desa itu berada di kecamatan Jambu, Semarang. Persisnya berada di kaki Gunung Kelir, Utara Gunung Telomoyo. Kami akan menuju ke desa Brongkol untuk satu alasan, yaitu hunting durian.

Durian Brongkol sudah terkenal di kalangan “penggila” durian. Buahnya kuning, terasa legit saat dikunyah. Tak hanya itu, dagingnya tebal dan di lidah terasa manis dan bercampur pahit. Ukurannya cukup besar dan tak kalah enaknya dengan durian Montong (bukan lokal).

Dengan menggunakan mobil “city car” kami berempat menuju Brongkol dari Semarang. Supaya cepat sampai mobil menyusuri TOL Semarang Bawen dan melanjutkan ke Ambarawa hingga tiba di Jambu lalu belok ke kiri lalu mobil mengarah ke kiri jalan sempit menuju Banyubiru. Dibutuhkan hanya sekitar 45 menit dari Semarang.

[caption caption="Durian dan Penggila Durian"]

[/caption]Saat salah satu teman membuka kaca jendela, Ambros setengah berteriak, “Bau durian sudah menyengat.” Yang lainnya mengiyakan sambil mata memandang kanan kiri dan terlihat di sepanjang jalan banyak tumbuh pohon durian yang sedang berbuah dan terikat oleh tali rafia. “Wow banyak yang jual di pinggir jalan. Besar-besar,” ujar saya. Didik yang pegang setir mobil bilang, “Bukan di sini. Masih ke dalam lagi kita berhenti.”

Kami belum berhenti tapi bau durian sudah menggelitik hidung kami. Ingin rasanya segera melahap durian lokal dari desa Brongkol sambil membayangkan dagingnya yang tebal dan rasanya manis pahit.

Mobil berhenti persis di depan penjual durian. Kami turun dan Didik langsung menyapa ibu penjual durian sambil berucap, “Seperti kemarin ya bu, carikan yang manis pahit.” Dengan cekatan, ibu penjual durian langsung memotong salah satu durian yang bergelantung terikat tali rafia.

[caption caption="Daginya tebal, rasanya legit, manis dan pahit"]

[/caption]“Silakan pak dinikmati” ujar penjual durian setelah meletakkan durian yang sudah dibelah di tempat duduk kami. Tangan-tangan menyambut kuliner durian itu dengan sigap dan langsung biji durian berdaging agak kuning dimasukkan dalam mulut, sambil dikunyah dan sekaligus dipisahkan dari “pongge” atau biji durian. Enak sekali. Nikmat banget.

Wajah bu Sujirah tampak senang melihat kami makan durian dengan nikmatnya. Saat kami makan, Bu Sujirah menceritakan bahwa warungnya dibuka setelah Natal hingga sekarang. Bahkan, ujarnya, musim durian masih panjang hingga Maret karena masih banyak yang “pentil” (buah kecil).

[caption caption="Yang Ini Meski agak putih tetap enak"]

[/caption]Musim durian kali ini lebih menguntungkan daripada tahun kemarin yang jangka musimnya pendek. Tak heran, ibu Sujirah bisa menjual per hari rata-rata 100 buah. “Sabtu, Minggu atau hari libur banyak yang beli durian,” tambahnya. Per buah, dijual antara 50 tibu hingga 75 ribu tergantung besar kecilnya ukuran.

“Per hari bisa dapat 5 juta ya Bu?” Tanya Ambros kepada Bu Sujirah. Yang ditanya cuma tersenyum simpul tak mau menanggapi pertanyaan Ambros. Justru bu Sujirah mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk pohon durian montong yang berbuah satu di depan warungnya seberang jalan. “Durian lokal Brongkol lebih enak daripada durian Montong. Meski kalah besar, tapi nggak kalah enaknya” kata Bu Sujirah.

Kami makan sambil ngobrol. Tak terasa kami sudah membelah empat durian. Perut terasa kenyang dan sendawa durian mulai beraksi. “Jangan terlalu banyak durian, entar mabuk,” kata saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun