[caption caption="Durian Brongkol, Siap Disantap"][/caption]Sabtu siang (9/1/2016) panasnya hawa udara Semarang tak mengurungkan niat saya dan teman-teman untuk meluncur ke desa Brongkol. Desa itu berada di kecamatan Jambu, Semarang. Persisnya berada di kaki Gunung Kelir, Utara Gunung Telomoyo. Kami akan menuju ke desa Brongkol untuk satu alasan, yaitu hunting durian.
Durian Brongkol sudah terkenal di kalangan “penggila” durian. Buahnya kuning, terasa legit saat dikunyah. Tak hanya itu, dagingnya tebal dan di lidah terasa manis dan bercampur pahit. Ukurannya cukup besar dan tak kalah enaknya dengan durian Montong (bukan lokal).
Dengan menggunakan mobil “city car” kami berempat menuju Brongkol dari Semarang. Supaya cepat sampai mobil menyusuri TOL Semarang Bawen dan melanjutkan ke Ambarawa hingga tiba di Jambu lalu belok ke kiri lalu mobil mengarah ke kiri jalan sempit menuju Banyubiru. Dibutuhkan hanya sekitar 45 menit dari Semarang.
[caption caption="Durian dan Penggila Durian"]
Kami belum berhenti tapi bau durian sudah menggelitik hidung kami. Ingin rasanya segera melahap durian lokal dari desa Brongkol sambil membayangkan dagingnya yang tebal dan rasanya manis pahit.
Mobil berhenti persis di depan penjual durian. Kami turun dan Didik langsung menyapa ibu penjual durian sambil berucap, “Seperti kemarin ya bu, carikan yang manis pahit.” Dengan cekatan, ibu penjual durian langsung memotong salah satu durian yang bergelantung terikat tali rafia.
[caption caption="Daginya tebal, rasanya legit, manis dan pahit"]
Wajah bu Sujirah tampak senang melihat kami makan durian dengan nikmatnya. Saat kami makan, Bu Sujirah menceritakan bahwa warungnya dibuka setelah Natal hingga sekarang. Bahkan, ujarnya, musim durian masih panjang hingga Maret karena masih banyak yang “pentil” (buah kecil).
[caption caption="Yang Ini Meski agak putih tetap enak"]
“Per hari bisa dapat 5 juta ya Bu?” Tanya Ambros kepada Bu Sujirah. Yang ditanya cuma tersenyum simpul tak mau menanggapi pertanyaan Ambros. Justru bu Sujirah mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk pohon durian montong yang berbuah satu di depan warungnya seberang jalan. “Durian lokal Brongkol lebih enak daripada durian Montong. Meski kalah besar, tapi nggak kalah enaknya” kata Bu Sujirah.
Kami makan sambil ngobrol. Tak terasa kami sudah membelah empat durian. Perut terasa kenyang dan sendawa durian mulai beraksi. “Jangan terlalu banyak durian, entar mabuk,” kata saya.