Di Indonesia, pernikahan sering dianggap sebagai penentu utama kebahagiaan perempuan.Â
Bagi perempuan yang menunda pernikahan di usia tertentu, pertanyaan dan komentar miring dari keluarga, tetangga, dan bahkan orang asing sering kali menjadi beban.Â
Stereotip dan bias gender yang melekat pada pernikahan terlambat ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan secara signifikan.
Stereotip dan Bias Gender yang Melekat
Stereotip dan bias gender yang sering dihadapi perempuan yang menunda pernikahan antara lain:
Pertama, perempuan yang menunda pernikahan dianggap tidak laku. Stereotip ini memicu perasaan rendah diri dan tidak berharga pada perempuan.Â
Anggapan ini didasari oleh pemikiran bahwa perempuan yang tidak menikah di usia tertentu memiliki kekurangan yang membuatnya tidak menarik bagi laki-laki.
Kedua, perempuan yang menunda pernikahan dianggap tidak mampu mengurus rumah tangga. Stereotip ini mengabaikan fakta bahwa banyak perempuan yang sukses dalam karir dan mampu mengurus diri sendiri.Â
Stereotip ini memperkuat peran tradisional perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan mengabaikan kemampuan perempuan dalam bidang lain.
Ketiga, perempuan yang menunda pernikahan dianggap egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Stereotip ini mengabaikan berbagai alasan perempuan menunda pernikahan, seperti fokus pada karir, pendidikan, atau belum menemukan pasangan yang tepat.Â
Stereotip ini menghakimi pilihan perempuan dan mengabaikan hak mereka untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.
Dampak Beban Bias Gender dan Stereotip
Beban bias gender dan stereotip yang dihadapi perempuan yang menunda pernikahan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan mental dan emosional mereka, antara lain: