Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Sang Penjaga Demokrasi Tergelincir: Sebuah Refleksi atas Pelanggaran Kode Etik Ketua KPU

5 Februari 2024   13:49 Diperbarui: 5 Februari 2024   13:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Julianda BM 

Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu merupakan pilar fundamental dalam demokrasi. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengemban amanah mulia sebagai penjaga demokrasi, memastikan pesta demokrasi berlangsung jujur dan adil. 

Namun, bagaikan sebuah drama, publik dikejutkan dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, melanggar kode etik.

Kasus ini bermula dari manuver politik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. KPU meloloskan pencalonan Gibran, meskipun Gibran belum mundur dari jabatannya sebagai Walikota Solo, sebuah langkah yang dianggap menabrak aturan dan memicu polemik.

DKPP, lembaga yang bertugas mengawasi etik penyelenggara pemilu, menerima aduan dan menggelar sidang. Dalam putusannya, DKPP menyatakan Hasyim Asy'ari terbukti melanggar kode etik karena tidak teliti dan cermat dalam memeriksa berkas pencalonan Gibran. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim.

Putusan DKPP ini bagaikan bom yang menggemparkan jagat demokrasi. Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin sang penjaga demokrasi tergelincir dalam pusaran kepentingan politik? Kepercayaan publik terhadap KPU pun tercoreng.

Kasus ini membuka kotak pandora tentang potensi kerentanan KPU terhadap intervensi politik. Muncul kekhawatiran bahwa KPU tidak lagi independen dan tunduk pada tekanan politik tertentu. Hal ini tentu saja membahayakan demokrasi dan menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.

Di sisi lain, putusan DKPP juga menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki mekanisme kontrol yang berfungsi. DKPP menunjukkan keberaniannya dalam menegakkan kode etik dan mengingatkan KPU untuk kembali ke jalurnya.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi KPU dan seluruh penyelenggara pemilu. Integritas dan independensi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. KPU harus berbenah diri, memperkuat internal dan memastikan tidak ada lagi celah bagi kepentingan politik untuk mengintervensi.

Masyarakat pun harus terus mengawasi dan kritis terhadap kinerja KPU. Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika semua pihak, penyelenggara pemilu dan masyarakat, bahu-membahu menjaga dan merawatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun