Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Batik Sogan

23 Desember 2023   14:57 Diperbarui: 23 Desember 2023   15:00 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: inews.id/Kuntadi

Tangannya membelai tiap kain, seolah membisikkan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Ia bercerita tentang para pembatik, tangan-tangan mereka yang menari dengan canting, menuangkan doa dan harapan ke atas lembaran putih. Cerita tentang ritual malam, pewarnaan alami, dan kesabaran menunggu warna merekah sempurna.

Sehelai kain batik Sogan sederhana menarik perhatianku. Tak ada motif mencolok, hanya guratan halus warna coklat kehitaman. Tapi ada pesona di sana, kedalaman dan ketenangan yang menggetarkan.

"Ini Batik Sogan, Nduk," kata Ibu Maryam. "Simbol kesederhanaan, keanggunan, dan keteguhan hati. Dipakai para raja-ratu zaman dulu, dan sampai sekarang masih disukai banyak orang."

Aku menyentuhkan jemariku pada kain itu. Dingin, lembut, seolah menyimpan kisah yang berbisik pada jiwaku. Dalam kesederhanaannya, aku melihat kekuatan, kemandirian, dan keindahan yang abadi.

"Ini saya yang buat, Nduk," kata Ibu Maryam, matanya berbinar. "Warnai dengan daun indigo, kunyit, dan akar mengkudu. Semua alami, dari bumi Nusantara."

Tiba-tiba, aku tahu ini batikku. Bukan hanya karena keindahannya, tapi karena cerita yang dibisikkannya. Cerita tentang warisan nenek moyang, tentang alam yang memberi, tentang tangan-tangan terampil dan hati yang tulus. Cerita tentang Indonesia, tentang diriku sendiri.

"Berapa, Bu?" tanyaku, suara serak.

Ibu Maryam tersenyum. "Batik ini tak dijual, Nduk. Diberikan saja, buat anak yang menghargai ceritanya."

Air mata menggenang di mataku. Bukan karena harganya, tapi karena kedermawanan dan pesan yang dalam. Batik ini bukan sekadar selembar kain, tapi jembatan hati, pengingat asal-usul, dan janji untuk melestarikan warisan.

Aku memakainya dengan hati penuh syukur. Batik Sogan sederhana itu tak hanya menghias tubuhku, tapi juga jiwaku. Kini, aku tak hanya berburu cerita, tapi menjadi bagian dari cerita batik itu sendiri. Cerita tentang cinta pada tanah air, pada tradisi, dan pada diri sendiri yang bersinar dalam kesederhanaan.

Sejak hari itu, aku tak pernah melupakan Batik Sogan Ibu Maryam. Setiap kali aku mengenakannya, aku merasa bercerita. Cerita tentang cinta pada tanah air, pada tradisi, dan pada diri sendiri yang bersinar dalam kesederhanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun