Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Profesi Penulis: Masihkah Menjanjikan atau Sudah Mati Suri?

21 November 2023   16:27 Diperbarui: 21 November 2023   16:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan tutupnya Toko Gunung Agung. Banyak yang menyayangkan tumbangnya jaringan toko buku yang berdiri sejak 1953 tersebut. Sebelum menutup seluruh jaringan toko bukunya, Toko Gunung Agung bisa dikatakan pernah mengalami masa kejayaannya pada 1990-an. 

Pada periode tersebut, usaha yang dirintis oleh Tjio Wie Tay tersebut menguasai 25 persen pangsa pasar penjualan buku di Tanah Air.

Tutupnya Toko Gunung Agung secara permanen menjadi kabar buruk bagi kemajuan literasi di Tanah Air. Pasalnya, sebelumnya publik sudah dibuat sedih dengan tutupnya (sebagian) gerai-gerai milik jaringan toko buku kenamaan seperti Books and Beyond, Togamas dan Kinokuniya.

Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab tutupnya toko buku fisik adalah perkembangan internet. Kehadiran internet membuat masyarakat bisa lebih mudah membaca buku versi digital (ebook) dengan biaya jauh lebih terjangkau. 

Tak mengherankan bila Kindle, Google Play Books atau Gramedia Digital dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren perkembangan yang menakjubkan.

Selain itu, minat masyarakat untuk membaca buku juga semakin menurun. Anak-anak muda kita jauh lebih betah berjam-jam menikmati konten digital di YouTube, TikTok, Instagram dan berderet platform media sosial lainnya dibandingkan membaca buku.

Faktor-faktor tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penulis. Apakah profesi penulis masih menjanjikan menghasilkan uang?

Keresahan Generasi Muda

Keresahan tersebut tidak hanya dirasakan oleh penulis profesional, tetapi juga oleh generasi muda yang ingin menjadi penulis. Mereka khawatir bahwa profesi penulis tidak lagi menjanjikan karena pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan effort yang dikeluarkan.

Hal ini bisa dilihat dari besaran royalti yang diterima penulis. Rata-rata royalti untuk buku cetak adalah 10% dari harga jual buku. Dengan harga buku rata-rata Rp50.000, maka penulis akan mendapatkan Rp5.000 per buku yang terjual. Jika penulis berhasil menjual 1.000 buku, maka pendapatannya hanya Rp5 juta dalam setahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun