Pemilihan umum merupakan salah satu pilar demokrasi yang penting. Melalui pemilu, masyarakat dapat memilih pemimpin yang mereka inginkan untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Namun, sayangnya, pemilu di Indonesia masih sering diwarnai dengan praktik politik uang (money politics).
Politik uang adalah praktik pemberian atau penerimaan uang atau barang dalam rangka mempengaruhi keputusan pemilih. Praktik ini jelas dilarang oleh hukum, namun masih saja terjadi.
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat masih memilih calon legislatif (caleg) berdasarkan pertimbangan uang. Salah satu alasannya adalah karena mereka tidak percaya terhadap janji-janji yang diucapkan oleh caleg.
Setelah terpilih, caleg seringkali tidak dapat menepati janjinya untuk menampung aspirasi masyarakat. Hal ini membuat masyarakat menjadi pesimis dan lebih memilih menerima "amplop" secara langsung daripada menunggu janji yang belum tentu dapat terpenuhi.
Praktik politik uang memiliki dampak yang sangat negatif terhadap demokrasi, antara lain:
Pertama, memperburuk kualitas demokrasi. Praktik politik uang dapat memperburuk kualitas demokrasi, karena pemilihan umum tidak lagi didasarkan pada pilihan yang bebas dan rasional, melainkan pada pemberian uang atau barang berharga.
Hal ini tentu akan memperburuk kualitas demokrasi, karena pemilihan umum tidak lagi menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar dikehendakinya.
Kedua, menghambat pembangunan. Praktik politik uang dapat menghambat pembangunan, karena pemilih tidak akan mendukung calon terpilih dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini tentu akan menghambat pembangunan, karena calon terpilih tidak akan mendapatkan dukungan dari rakyat.
Ketiga, meningkatkan korupsi. Praktik politik uang dapat meningkatkan korupsi, karena calon terpilih akan berusaha mengembalikan uang atau barang berharga yang telah diberikan kepada pemilih.