Hari ini, 20 April 2020, genap satu bulan anak-anak sekolah, guru dan tenaga kependidikan di NTT dirumahkan. Tidak ada kegiatan dan proses belajar-mengajar di sekolah. Apa sesungguhnya yang telah mereka (anak-anak sekolah) lakukan selama sebulan itu? Hanya Tuhan dan mereka sendiri yang benar-benar tahu.
Sebagai salah seorang pendidik, saya hanya berharap bahwa mereka telah mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan oleh para guru. Semoga mereka juga berinisiatif melakukan hal lain yang bermutu walau belum diminta oleh para guru dan pihak sekolah. Harapan lain adalah mereka tetap sehat dan tetap setia berada bersama keluarga, entah di rumah maupun di kebun.
Apakah anak-anak sekolah rindu kembali lagi ke sekolah? Saya duga ada banyak yang rindu.  Apalagi kalau guru (orang tua) di rumah lebih galak dari guru mereka di sekolah. Tapi mungkin ada juga yang tak merindukannya. Barangkali  bagi yang tak rindu, ini liburan penuh berkat; hadiah dari langit, tanpa diduga.
Sebetulnya yang (paling) merindukan agar anak-anak kembali ke sekolah adalah para guru. Sekurang-kurangnya itu yang saya dengar dari beberapa guru pada waktu berjumpa dengan mereka dua hari yang lalu.Â
Mereka rindu mengajar di sekolah; rindu berdiskusi dengan peserta didik atau sekadar berolahraga bersama kala sore hari tiba. Ada juga guru yang berkelakar bahwa ia sudah mulai lupa dengan wajah anak didiknya. Karena itu, ia ingin segera berjumpa dengan mereka. Ini kerinduan yang terungkap.
Sayangnya setelah sebulan berlalu, tuan Corona belum mengizinkan anak-anak dan guru melepas rindu dengan berjumpa lagi di sekolah. Â Tiga hari yang lalu (17 April), gubernur NTT menerbitkan instruksi baru Nomor 443/102/PK/2020 tentang "Peningkatan kewaspadaan terhadap risiko penularan infeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Satuan Pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur." Salah satu isi penting instruksi tersebut adalah memperpanjang masa 'dirumahkan' bagi peserta didik, guru dan tenaga kependidikan sampai 30 Mei 2020.
Berkaitan dengan instruksi baru ini, Gubernur meminta para guru  tetap mempersiapkan bahan ajar dan tetap melaksanakan pembelajaran selama di rumah dengan menggunakan salah satu atau lebih beberapa metode berikut:
- Metode online yaitu guru menyiapkan Kelas Maya menggunakan askes Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di laman: belajar.kemdikbud.id.Â
- Metode offline yaitu guru mengunduh materi-materi ajar dari internet atau Rumah Belajar, lalu dibagikan ke peserta didik masing-masing untuk dipelajari dan dikerjakan selama masa dirumahkan.
- Metode penugasan secara manual yaitu guru memberikan penugasan secara manual kepada peserta didik sesuai dengan Kompentensi Dasar yang ada untuk dikerjakan di rumah dan dikumpulkan pada saat masuk sekolah atau pada saat libur/dirumahkan dengan cara dikirimkan menggunakan email atau media sosial.
Untuk konteks NTT, saya cukup yakin, sebagian besar guru tidak memilih metode pertama (menyiapkan Kelas Maya). Alasannya cukup jelas, antara lain: 1) Masih banyak daerah di NTT yang belum ada sinyal internet atau kalau pun ada, sinyal tidak lancar; 2) Masih banyak kampung atau desa yang tidak memiliki listrik (PLN); 3) Tidak mampu membeli paket data internet (bagi yang tinggal di tempat yang ada sinyal); 4) Belum mampu membeli HP Android atau Laptop. Karena itu, untuk saat ini, metode pertama belum relevan untuk konteks NTT secara keseluruhan.
Saya menduga, sebagian besar guru di NTT lebih memilih metode kedua (offline) atau  ketiga yakni penugasan secara manual. Kedua metode ini bisa diterapkan di NTT. Saya dan para guru di sekolahku (SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II -- Labuan Bajo) memilih metode ketiga (Penugasan secara manual).
Pelbagai metode ini tentu sangat minimal dan sangat tidak cukup. Dikatakan demikian karena pendidikan itu mencakup banyak hal dan menyeluruh (holistik-integral), tak hanya soal transfer ilmu pengetahuan atau pengembangan kapasitas kognitif.Â
Karena itu, interaksi langsung antara pendidik dan peserta didik tetap tak tergantikan. Sebab ada banyak sekali hal positif yang berkembang dengan baik dalam diri peserta didik pun dalam diri pendidik tatkala interaksi langsung itu terjadi di lingkungan sekolah.
Akan tetapi, sampai saat ini, kita belum bisa mengalahkan tuan Corona sehingga interaksi langsung tidak terjadi. Ia masih memaksa kita untuk menjaga jarak jika tetap mau hidup di dunia ini. Tuan Corona masih menghendaki agar pendidikan jangan dulu berjalan normal.Â
Ia sedang meminta kita agar melahirkan kreativitas baru dalam dunia pendidikan dan tak hanya monoton di ruang kelas. Barangkali ia juga sedang menyadarkan kita bahwa di depan dirinya kita tak berdaya, termasuk pendidikan formal itu sendiri! Entahlah.
Berdasarkan intsruksi Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, SH, peserta didik, guru dan tenaga kependidikan baru kembali ke sekolah tanggal 30 Mei 2020. Tidak main-main! Itu pun kalau situasi sudah semakin membaik: tuan Corona kalah. Kalau tidak, masa dirumahkan itu akan diperpanjang lagi.Â
Tentang hal ini, Anda dan saya tahu bahwa akhir Mei itu sudah ujung semester genap 2019/2020. Bahkan akhir Mei sampai awal Juni itu adalah jadwal Ujian Akhir Semester (UAS). Itu jadwal yang sudah tercatat rapi pada kalender pendidikan di masing-masing sekolah.
Apa artinya? Artinya semester genap 2019/2020 telah selesai! Yang menyelesaikannya adalah tuan Corona. Ya, tuan Corona! Atas dasar hal inilah saya tergerak untuk menyebut semester ini sebagai Semester Corona. Â
Dalam kesunyian kamarku dan diiringi bunyi musik serta ditemani suara Tokek, saya membaptis semester ini sebagai SEMESTER CORONA. Ini murni celotehan liar privat, tanpa mewakili siapa atau pihak manapun.Â
Sebetulnya saya hanya ingin mengatakan sekurang-kurangnya kepada diriku sendiri bahwa semester genap 2019/2020 telah dikacaukan oleh tuan  Corona. Pendidikan formal tak bisa berjalan normal hampir sepanjang semester karena Corona. Itu saja.
Saya telah mencatat dengan tinta intan bahwa semester Corona ini adalah semester yang paling mengesankan dalam ziarahku sebagai pendidik. Karena paling mengesankan, maka semester ini tak terlupakan, juga tak tergantikan. Perlukah saya berterima kasih kepada tuan Corona? Entahlah.Â
Ataukah saya harus mengumpatnya? Entah juga. Barangkali ini bukan saat yang tepat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saat ini saya hanya bisa berkata bahwa ini Semester Corona. Saya dan banyak orang sedang menikmati semester yang tak biasa dan tak dirindukan ini. Â Tetapi di lubuk hati terdalam, sesungguhnya saya dan mungkin Anda, sedang berharap dengan serius agar tuan Corona segera bisa 'dijinakkan' atau diatasi-dikalahkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H