Mohon tunggu...
Laurens Gafur
Laurens Gafur Mohon Tunggu... Guru - Peziarah kehidupan yang tak lelah mencari dan mendekap kebijaksanaan

Saya seorang pendidik di SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II - Labuan Bajo, Flores Barat-NTT. Saya alumnus STF Widya Sasana Malang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Baruch Spinoza: Demokrasi sebagai Sistem Pemerintahan Terbaik

10 Maret 2020   08:33 Diperbarui: 10 Maret 2020   08:38 3055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Baruch Spinoza (1632-1677) adalah pemikir besar dalam sejarah filsafat. Pemikirannya tentang politik pantas diapresiasi, walaupun saat ini, khususnya di Indonesia namanya jarang disebut oleh para pencinta filsafat, apalagi oleh para politikus tanah air. Tulisan ini hendak mengulas secara singkat pemikiran Spinoza tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik.

Menurut  Baruch Spinoza, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang terbaik karena paling natural dan paling sejalan dengan kebebasan  manusia.[1] Selain itu, di dalam demokrasi para warga negara dengan bebas berpartisipasi aktif dalam membangun negara. Demokrasi juga bertujuan untuk menghindari keinginan yang irasional dan menuntun manusia sebisa mungkin agar hidup di bawah tuntunan akal budi sehingga mampu hidup dalam damai dan penuh harmoni. Singkatnya, di dalam demokrasi, kebebasan manusia untuk mengekspresikan dirinya sebagai makhluk rasional dijamin. Berikut ini adalah pandangan Spinoza tentang demokrasi.

Tujuan dasar demokrasi adalah menghindari keinginan yang irasional dan membawa manusia sejauh mungkin agar hidup di bawah tuntunan akal budi sehingga mereka bisa hidup dalam damai dan harmonis. Demokrasi juga adalah sistem pemerintahan yang paling natural dan paling sesuai dengan kebebasan manusia. Di dalam demokrasi, seseorang tidak memberikan hak naturalnya secara absolut. Ia hanya memberikannya bersama-sama dengan masyarakat. Karena itu, semua manusia tetap sama sebagaimana ketika mereka berada dalam kondisi alamiah (state of nature).[2]

Konsep Spinoza tentang demokrasi mempunyai hubungan erat dengan pandangan paling mendasarnya tentang determinasi diri.[3] Sistem pemerintahan demokrasi membuka kesempatan kepada setiap pribadi untuk bersama-sama menentukan perkembangan masyarakat dan aturan dalam hidup bersama dan sebagai konsekuensinya adalah menentukan (mendeterminasi) diri mereka sendiri. Demokrasi merupakan sistem politik yang paling baik karena percaya pada kekuatan banyak orang yang bisa memperkokoh kesatuan dan menjamin kesejahteraan banyak orang.[4] 

Selain itu, di dalam negara demokrasi setiap warga negara mempunyai kesempatan yang memadai untuk mempengaruhi proses pembuatan hukum.[5] Dengan demikian, pembuatan hukum bukan monopoli orang-orang tertentu. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan hukum bermaksud agar hukum atau aturan negara tersebut sungguh-sungguh berguna bagi kepentingan banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup dalam negara demokrasi lebih bebas (seperti dalam state of nature) daripada orang-orang yang hidup di dalam sistem pemerintahan lainnya.

Partisipasi warga negara dalam proses demokrasi di dalam sebuah negara akan terwujud ketika kebebasan berpikir, berbicara dan beragama  dijamin.[6] Melalui kebebasan tersebut, setiap pribadi mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk rasional. Ia berjuang untuk menentukan dirinya, mengontrol hidupnya sesuai tuntunan akal budi demi mencapai kebahagiaan hidupnya.

Berikut ini kita akan mendalami secara khusus kebebasan individual (berpikir, berbicara dan beragama) yang tidak bisa dirampas oleh siapapun dan perlu dijamin dalam sebuah negara demokrasi.

  1. Kebebasan Berpikir

 Jika pikiran manusia mudah dikontrol seperti mengekang lidah mereka, setiap penguasa akan memerintah dengan aman dan tidak ada pemerintah yang kejam (menekan rakyatnya). Karena semua orang akan hidup menurut pikiran yang mengendalikan mereka dan akan menilai atau menentukan apa yang benar atau salah, baik atau buruk, dalam kesesuaian dengan keputusan mereka sendiri. Akan tetapi, sesuatu yang tidak mungkin bahwa pikiran seorang manusia secara absolut dapat dikontrol oleh orang lain. Tidak ada seorangpun dapat menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada orang lain untuk berpikir secara bebas dan membuat keputusan sendiri tentang apapun. Itulah sebabnya, pemerintah yang berusaha mengontrol pikiran rakyatnya dianggap kejam, dan penguasa tampak membahayakan dan merebut hak-hak mereka ketika berusaha mengatakan kepada mereka (rakyat) apa yang harus diterima sebagai kebenaran dan menolak yang salah. Karena  semuanya ini telah tertanam dalam diri setiap individu dan menjadi hak mereka sehingga tidak bisa dirampas. [7]

Kutipan di atas menegaskan bahwa kebebasan berpikir adalah hak kodrati manusia yang tidak bisa dirampas oleh pihak lain. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa orang agar berpikir atau tidak berpikir tentang sesuatu.[8] Setiap orang tidak dapat melepaskan haknya untuk berpikir, sebab setiap orang adalah tuan atas pikirannya. Kebebasannya untuk berpikir tidak dapat ditaklukkan oleh siapapun. Karena itu, setiap orang berpikir tentang hal yang berbeda dengan yang lainnya tidak dapat dipaksa untuk berbicara dan berpikir sesuai dengan hati nurani penguasa tertinggi.

Pandangan Spinoza ini mengandung harapan agar dalam sebuah negara kebebasan berpikir harus dijunjung tinggi dan dijamin oleh negara. Menurut Spinoza, negara yang baik akan memberi kesempatan kepada warganya untuk berpikir sesuai dengan apa yang disukainya dan berbicara seturut apa yang dipikirkannya.[9] Terjaminnya kebebasan berpikir tentu membuat warga negara aman dan mengalami kebahagiaan dalam hidupnya.

2. Kebebasan Berbicara

            Dalam kehidupan bernegara, setiap orang bebas berbicara atau mengungkapkan pendapatnya. Manusia berbicara untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan, harapan dan kepercayaannya. Jika ada penguasa yang memaksa seseorang berbicara tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya tetapi sesuai dengan kemauan penguasa, maka tindakan tersebut adalah kelaliman dan merupakan bentuk penghancuran kebebasan manusia.[10] Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara merupakan hak natural yang tidak dapat ditaklukkan oleh orang lain. Tindakan represi atau paksaan untuk tidak berbicara sangat berbahaya sebab para warga akan memberontak dalam rangka memperjuangkan kebebasannya.

            Menurut Spinoza,  kebebasan berbicara sesuai dengan apa yang dipikirkan setiap pribadi tidak mungkin dicabut oleh penguasa.[11] Akan tetapi, ada hal penting yang perlu diperhatikan antara lain: kebebasan yang dimiliki manusia tidak boleh mengganggu hak dan otoritas penguasa dan  tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum negara. Selain itu, kebebasan tersebut tidak boleh mengganggu ketenteraman bersama dan juga tidak menghalangi kesetiaan dalam mengabdi negara.

3. Kebebasan Beragama

            Setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan  apa yang terbaik demi kebahagiaan hidupnya. Akal budi memampukan manusia untuk menemukan apa yang berfaedah bagi dirinya. Menurut Spinoza, setiap manusia memiliki hak untuk memeluk agama tertentu.[12] Berkaitan dengan hal demikian, tidak ada seorang pun  yang bisa memaksa seseorang untuk memeluk atau tidak memeluk agama tertentu. Hak untuk memeluk agama adalah hak kodrati manusia yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Dengan demikian, negara, organisasi masyarakat atau agama tertentu tidak mempunyai kuasa untuk memaksa seseorang dalam menganut atau tidak menganut agama tertentu.[13]

Pemikiran Spinoza tentang kebebasan beragama ini tidak bisa dipisahkan dari pengalaman hidupnya di Belanda.  Pada waktu itu, Spinoza diekskomunikasi dari agama Yahudi karena  dianggap sebagai penentang  ortodoksi.[14] Pemikiran kritisnya yang terungkap dalam keberaniannya dalam menafsirkan Kitab Suci secara liberal atau tidak mengikuti tafsiran sebagaimana lazimnya ternyata mengundang amarah dari pemuka agama Yahudi. Setelah dibujuk untuk kembali menghargai ajaran Yahudi dan Spinoza tidak menghiraukannya, maka mereka mengekskomunikasinya.

Selain itu, ia juga menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan beragama di Belanda diwarnai dengan konflik antara pihak tertentu. Khususnya, konflik di dalam Gereja Reformasi Belanda antara partai Remonstrants dan kontra Remonstrants yang menyita perhatian banyak orang.[15] Kelompok Remonstrants merupakan himpunan orang-orang yang dikeluarkan dari Gereja Reformasi Belanda pada tahun 1619 karena menolak doktrin predestinasi dan ajaran tentang rahmat. Kelompok Remonstants ini mendukung Partai Republik yang menjunjung tinggi kebebasan manusia. Kelak Spinoza bergabung dengan kelompok ini. Di pihak lain, ada kelompok Kontra Remonstrants yakni orang-orang konservatif yang berani menentang kelompok Remonstrants dan  masih setia pada ortodoksi Calvinist. Kelompok kontra Remonstrants ini menjadi pendukung  Partai Orangist.

 Pengalaman di atas mendesak Spinoza untuk mengungkapkan isi hatinya tentang hak alamiah manusia untuk memeluk atau tidak memeluk agama tertentu. Ia prihatin dengan pemerintah atau ororitas agama Yahudi yang memaksa orang-orang agar mengikuti begitu saja ajaran agama tanpa dikritisi oleh akal sehat.[16] Menurutnya, di dalam kehidupan beragama, manusia dengan bebas menggunakan akal budinya untuk menghayati hidup keagamaannya dengan baik tanpa intervensi pihak lain. Otoritas yang mengintervensi seseorang atau sekelompok orang untuk memeluk agama tertentu adalah penguasa yang lalim. Yang terpenting dalam sebuah agama adalah orang-orang berjuang untuk  melakukan cinta kasih dan keadilan.[17]

 Relevansi untuk Demokrasi di Indonesia

Sebagai sebuah negara yang memilih sistem pemerintahan demokrasi, apakah negara Indonesia telah menjamin kebebasan individual para warganya? Penulis memaparkan sekilas tentang penghayatan kebebasan individual di Indonesia. Sejak kemerdekaan tahun 1945, negara Indonesia menghadapi banyak persoalan yang berkaitan dengan kebebasan individual. Persoalan yang paling sering terjadi adalah ketika Suharto menjadi presiden Indonesia. Di bawah pimpinan Suharto, kebebasan warga negara Indonesia sungguh-sungguh dikekang. Betapa tidak, siapa saja yang mengeritik kinerja pemerintah, maka akan dihukum, bahkan nyawa dipertaruhkan.[18] Masa Orde Baru sungguh-sungguh saat-saat kelam di mana kebebasan individual kurang dihargai di Indonesia.

Setelah rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, Indonesia memasuki babak baru yakni reformasi. Harus diakui bahwa banyak perubahan yang terjadi di Indonesia setelah Orde Baru. Hal ini sungguh terasa dalam mengekpresikan kebebasan berpendapat. Kita bisa menyaksikan bagaimana para warga dengan berani mengkritisi kinerja pemerintah apabila dianggap tidak menjalankan tugas kenegaraan dengan baik.[19] Pemerintah pun dengan lapang dada menerima sekian banyak masukan yang diberikan oleh rakyatnya.

Akan tetapi, ada beberapa catatan penting yang berkaitan dengan ekspresi kebebasan individual yang masih dikekang hingga saat ini. Kebebasan beragama dan melakukan kebaktian keagamaan adalah hal yang masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia. Kita sering kali mendengarkan bagaimana kebaktian agama tertentu dilarang. Atau tentang sulitnya mendapatkan izinan untuk membangun rumah ibadat bagi orang-orang Kristen.

SETARA Institute mengadakan pemantauan di 12 Propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.[20]  Berdasarkan pemantauan yang dilakukan mulai tahun 2007 hingga 2009 ini, mereka menemukan bahwa masih banyak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2007 ditemukan  135 peristiwa pelanggaran, tahun 2008 ditemukan 265 peristiwa dan tahun 2009 ditemukan 200 peristiwa pelanggaran. Banyaknya  jumlah pelanggaran ini  menyadarkan kita bahwa kebebasan Individual belum sungguh-sungguh terjamin di Indonesia.

Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama tiga tahun meliputi isu-isu dominan sebagai berikut:[21] 1) pendirian rumah ibadah; 2) penyesatan keyakinan/ aliran keagamaan; 3) pengrusakan tempat ibadah; 4) peraturan perundang-undangan dan kebijakan diskriminatif. Pelanggaran ini ada yang dilakukan oleh negara (berkaitan dengan Undang-Undang) dan ada juga yang dilakukan oleh warga negara (pengrusakan tempat ibadah, penganiayaan terhadap kelompok tertentu).

Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang hingga saat ini masih mengalami banyak penindasan oleh kelompok radikal tertentu. Rupanya mereka menjadi ‘musuh bersama’ yang pantas dikejar dan dibubarkan karena menodai ajaran Islam. Akibatnya, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan kebebasan berkeyakinannya di negara Indonesia. Dalam hal ini pemerintah Indonesia tidak tegas dalam menjamin kebebasan individual. Bahkan kita dikejutkan dengan SKB tiga menteri yang menyudutkan Jemaah Ahmadiyah yang menurut banyak pengamat menjadi legitimasi kekerasan terhadap kelompok tersebut.[22]

Hal lain yang masih terjadi adalah pelarangan buku. Ada beberapa buku yang dilarang untuk disebarkan karena dianggap menimbulkan keresahan dalam masyarakat.[23] Pada akhir tahun 2009 lalu, pemerintah melarang beredarnya  5 judul buku.[24]  Kelima buku yang dilarang beredar adalah (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Menurut  Iwan Awaluddin Yusuf, Ketua Tim Riset Pelarangan Buku di Indonesia, pelarangan buku adalah bentuk paradoks di negara demokrasi karena memperlihatkan kesewenang-wenangan dalam membatasi kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi.[25] Padahal semua itu dijamin oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, bahkan secara tegas ditulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pelarangan buku juga merupakan paradoks bagi kehidupan bermedia di Indonesia yang lebih dari satu dekade terakhir telah mengumandangkan dukungan terhadap kebebasan pers. Selain itu, pelarangan buku mengindikasikan ambiguitas kebijakan penguasa. Alih-alih mengantisipasi polemik dalam masyarakat, pemerintah memperlihatkan praktik-praktik primitif dalam mengontrol, mengarahkan, membatasi, bahkan memandulkan cara berpikir masyarakat.

Aneka contoh di atas menunjukkan bahwa Indonesia yang mengusung paham demokrasi ini belum menjamin kebebasan individual warganya. Indonesia masih menjalankan demokrasi prosedural! Hakekat demokrasi belum sungguh-sungguh diaktualisasikan. Karena itu, pemikiran Spinoza tentang negara demokrasi sebagai penjamin kebebasan individual mendapat relevansinya di sini. Demokrasi Indonesia hendaknya menjadi wadah strategis bagi manusia Indonesia untuk bertumbuh menjadi pribadi rasional yang tidak hanya mengejar kebahagiaan pribadi tetapi juga kesejahteraan umum. ***

                                                                                                        Malang, Maret 2012

Daftar Pustaka

Spinoza, Benedict,  A Theological-Political Treatise, diterj. oleh Jonathan Israel, Cambridge:    Cambridge University Press,  2007.

----------------------,  A Political-Treatise, diterj. oleh  R. H. M. Elwes, New York: Dover  Publications, INC, 1951.

----------------------, Ethics, diterj. oleh Michael L. Morgan, Indiana Polis: Hackett Publishing  Company, Inc, 2002.

Duff, Robert, Spinoza’s Political and Ethical Philosophy, London: Macmillan and Co LTD, 1903.

Hendardi, Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009, Jakarta: SETARA Institute, 2010.

Nadler, Steven, Spinoza’s Ethics: An Introduction, New York: Cambridge University Press, 2006.

Ward, Lee,  Spinoza and Democracy, Canada: University of Regina, 2009.

Yusuf, Iwan Awaluddin dkk (eds.), Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media, 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun